SEPERTI biasanya, pagi setelah menunaikan shalat Shubuh dan membaca beberapa lembar dari Kalamullah, saya mencoba kembali ‘safar’ ke kitab-kitab turats para ulama’. Bagi saya, hal ini sungguhlah sebuah kenikmatan yang tiada tara. Asyik, unik, mengelitik, buat penasaran, apalagi kalau sampai mendapatkan suatu faidah yang ‘baru’, yang belum pernah saya ketahui sebelumnya, rasanya ingin loncat. Saking asyiknya, sering kali teh hangat dan camilan yang disiapkan oleh “ istri tercinta” sering terabaikan begitu saja sampai mendingin.
Pagi tadi, saya mampir di sebuah halaman kitab turats. Sempat terhenyak begitu dalam, karena apa yang dipaparkan di dalamnya, itu sangat begitu mengena dan menghunjam di dada. Jadi ingat masa-masa awal ‘hijrah’ yang penuh cerita-cerita lucu yang akan membuat gelak tawa orang-orang yang mendengarnya. Saat kita sebagai seorang “muqallid”, namun bergaya seperti seorang “mujtahid”. Agar lembaran halaman itu lebih bermanfaat bagi orang banyak, di sini akan kami nukilan kepada saudara-saudaraku sekalian.
BACA JUGA: Pemuda dan Peradaban Gemilang
Syaikh sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Ba’alawi Asy-Syafi’i Al-Hadhrami (mufti negeri Hadramaut – Yaman) –rahimahullah- (wafat : 1320 H), membawakan ucapan syaikh Muhammad Sulaiman Al Kurdi -rahimahullah- :
شخص طلب العلم ، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه ، وكان ذا فهم وذكاء ، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم ، ولم يلتزم مذهباً ، بل عدل إلى الاجتهاد ، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه ، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم ، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته
Ada seorang menuntut ilmu, banyak mentelaah kitab-kitab yang disusun (oleh para ulama’) berupa tafsir, hadits, dan fiqh. Dia seorang yang memiliki pemahaman dan kecerdasan. Lalu dia menyimpulkan dengan pendapatnya sendiri, sesungguhnya kebanyakan umat ini telah sesat dan menyesatkan dari pokok agama dan jalan penghulunya para rasul (nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-).
Dia menolak semua kitab-kitab karangan para ulama’ dan mengharuskan dirinya untuk tidak bermadzhab, bahkan dia berpindah kepada ijtihad. Dia mendaku, dapat melakukan istimbath (memetik suatu hukum) secara langsung dari Al-Qur’an dan sunnah –menurut prasangkanya-. Padahal, dia tidak memiliki syarat-syarat untuk ijtihad yang mu’tabarah (yang dikenal dan diperhitungan) di sisi para ulama’. Bersamaan dengan itu, dia mengharuskan umat untuk mengambil pendapatnya dan mewajibkan mereka untuk mengikutinya.
فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة ، وإذ طرح مؤلفات أهل الشرع فليت شعري بماذا يتمسك ؟ فإنه لم يدرك النبي عليه الصلاة والسلام ، ولا أحداً من أصحابه رضوان الله عليهم ، فإن كان عنده شيء من العلم فهو من مؤلفات أهل الشرع ، وحيث كانت على ضلالة فمن أين وقع على الهدى ؟
Maka orang yang mendaku telah mampu melakukan ijtihad ini, wajib baginya untuk kembali kepada kebenaran dan membuang jauh-jauh seluruh pendakuan dia yang batil. Karena dia telah membuang seluruh kitab-kitab karangan ahli syari’at (ulama’). Lalu, dengan apa dia akan berpegang ? Dia tidak pernah ketemu dengan nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan juga tidak pernah berjumpa dengan seorangpun dari para sahabat –radhiallahu ‘anhum-. Kalaupun dia memiliki sedikit ilmu, itupun dia dapatkan dari dari karangan-karangan ahli syari’at (ulama’). Jika karangan-karangan ini di atas kesesatan, lantas dari mana dia yakin di atas petunjuk ?
فليبينه لنا فإن كتب الأئمة الأربعة رضوان الله عليهم ومقلديهم جلّ مأخذها من الكتاب والسنة ، وكيف أخذ هو ما يخالفها ؟ ودعواه الاجتهاد اليوم في غاية البعد كيف ؟ وقد قال الشيخان وسبقهما الفخر الرازي : الناس اليوم كالمجمعين على أنه لا مجتهد ، ونقل ابن حجر عن بعض الأصوليين : أنه لم يوجد بعد عصر الشافعي مجتهد أي : مستقل ،
Hendaknya dia terangkan hal ini kepada kita ! Sungguh, kitab-kitab karangan para imam yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) semuanya diambil dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah. Lalu bagaimana dia mengambil sesuatu yang menyelisihinya ? Pendakuannya mampu melakukan ijtihad di zaman ini, merupakan pendakuan yang sangat jauh dari kebenaran. Bagaimana bisa demikian ? Sungguh dua syaikh (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) telah berkata, dan imam Al-Fakhur Razi telah mendahului keduanya : Para ulama’ hari ini seperti telah sepakat, sesungguhnya tidak ada lagi mujtahid (ini di zaman beliau). Ibnu Hajar telah menukil dari sebagian ulama’ ahli ushul, : Sesungguhnya tidak di dapatkan seorang mujtahid setelah masa imam Asy-Syafi’i, artinya : mujtahid mustaqil*.
BACA JUGA: 9 Adab Ziarah Kubur yang Jarang Diketahui
[Bughyatul Mustarsyidin : 14]
Mungkinkah beredarnya berbagai pendapat yang salah dan ‘nyleneh’ di kalangan kita dikarenakan munculnya orang-orang yang seperti ini? Wallahu a’lam. Saya optimis, pada waktunya semua akan menyadari siapa dirinya serta bisa mendudukan para ulama’ dengan kedudukan yang semestinya. Semoga.
——
*Mujtahid mustaqil : seorang ulama’ ahli ijtihad yang mampu melakukan istimbath (memetik) sebuah hukum langsung dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah seperti imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. []
Facebook: Abdullah Al Jirani