MUSH’AB ibn Umair merupakan seorang pemuda yang tampan, cerdas juga memiliki keimanan yang tinggi. Ia adalah sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang dijuluki ‘Pemuda yang Harum’.
Suatu ketika Rasulullah menunjuk Mush’ab untuk mengajarkan Islam kepada kaum Anshar yang telah beriman dan berbai’at kepada Rasulullah. Itu merupakan tugas yang sangat berat. Karena pada saat itu masyarakat banyak yang menolak kehadiran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW tersebut.
Sebelumnya sekitar dua belas orang kaum Anshar telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah ketika peristiwa Baiat Aqabah.
BACA JUGA: Rasulullah dan Sahabat Berdakwah serta Mencari Nafkah
Ketika itu di antara para sahabat Rasulullah sebenarnya masih ada beberapa sahabat yang lebih tua dan lebih berkedudukan dibandingkan dengan Mush’ab, serta memiliki hubungan kerabat yang lebih dekat dengan Rasulullah. Akan tetapi, Rasulullah telah memilih Mush’ab ibn Umair.
Mush’ab menyadari bahwa dirinya hendak menangani persoalan yang paling besar pada saat itu. Ia akan bertanggung jawab dalam menentukan masa depan Islam di Madinah yang taklama kemudian menjadi Darul Hijrah, titik pusat dakwah dan para dai, markas para pembawa kabar gembira dan para kesatria Islam.
Mush’ab mengemban amanah tersebut dengan berbekal kecerdasan pikiran dan akhlak mulia yang dikaruniakan Allah kepadanya. Hati para penduduk Madinah sangat terkesan dengan sifat zuhud, keluhuran, dan ketulusan Mush’ab hingga mereka pun berbondong-bondong masuk Islam.
Ketika Rasulullah mengutusnya untuk datang ke Madinah, di sana tidak ada pemeluk Islam, kecuali dua belas orang yang sebelumnya telah membai’at Rasulullah dalam Ba’iat ‘Aqabah. Namun, hanya beberapa bulan setelah Mush’ab berada di tengah-tengah mereka, sudah banyak penduduk yang bersedia memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya.
Mush’ab di Madinah tinggal bersama As’ad ibn Zararah sebagai tamu di rumahnya. Ia bersama As’ad mendatangi berbagai kabilah, rumah, dan majelis untuk membacakan Kitab Allah yang ia bawa di depan para penduduk. Dengan sangat lemah lembut, mereka berdua menyampaikan kalimat Allah, “Sesungguhnya, Allah adalah Tuhan Yang Esa.”
Mush’ab pernah menghadapi beberapa situasi yang mengancam keselamatan dirinya dan sahabatnya yang nyaris saja celaka.
BACA JUGA: Amanah dan Dakwah
Suatu hari ketika sedang menyampaikan nasihat kepada orang-orang, ia dikejutan oleh Usaid bin Hudhair, tokoh Bani Asyhal di Madinah, yang datang dengan menghunus tombak. Usaid sangat marah dan dongkol kepada Mush’ab yang datang untuk merusak agama kaumnya, mengajak mereka untuk meninggalkan tuhan-tuhan mereka sendiri, lalu menceritakan tentang Tuhan Yang Esa yang belum pernah mereka ketahui dan mereka kenal sebelumnya.
Ketika kaum Muslimin yang sedang dalam majelis bersama Mush’ab mengetahui kedatangan Usaid ibn Hudhair sambil menampakkan kemarahan yang membara dan emosi yang meluap-luap, mereka pun merasa khawatir. Namun, Mush’ab tetap tenang, dan tidak gentar sedikit pun.
Dengan sangat marah, Usaid berdiri di hadapan Mush’ab dan As’ad ibn Zararah seraya berkata, “Untuk apakah kalian datang ke desa kami? Apakah kalian hendak membodohi orang-orang lemah dari kami? Pergilah dari desa kami jika kalian tidak ingin kehilangan nyawa!”
Mush’ab menjawab, “Tidakkah Anda mau duduk dan mendengarkan dulu? Sekiranya Anda senang dengan yang kami bawa, Anda dapat menerimanya. Namun, jika Anda tidak suka, kami akan menghentikan apa yang tidak Anda sukai.”
Usaid adalah seorang laki-laki yang berakal dan cerdas. Ia melihat bahwa Mush’ab hanya mengajaknya berdialog dan meminta pertimbangan pada nuraninya sendiri. Ia hanya diminta bersedia mendengar, tiada yang lain. Jika ia menerima, ia akan membiarkan Mush’ab. Namun, jika ia tidak mau menerimanya, Mush’ab akan meninggalkan desa dan penduduknya untuk beralih mencari desa dan masyarakat lain dengan tidak merugikan orang lain ataupun dirugikan. Pada saat itu Usaid pun menjawab, ”Baiklah, sekarang aku akan mendengarkan.”
Ia lemparkan tombaknya ke tanah lalu duduk dan mendengarkan baik-baik. Selanjutnya, Mush’ab membaca al-Quran dan menjelaskan seputar dakwah yang dibawa oleh Rasulullah hingga wajah Usaid pun tampak cerah bercahaya. la begitu larut meresapi keindahan dan kebenaran al-Qur’an yang dibacakan oleh Mush’ab. Belum selesai Mush’ab menerangkan uraiannya, Usaid bin Hudhair dan beberapa pengikutnya berkata, ”Alangkah bagus dan benarnya ucapan itu. Apakah yang harus dilakukan oleh orang yang ingin memeluk agama ini?”
Mush’ab menjawab, “Hendaklah ia menyucikan pakaian dan tubuhnya lalu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.”
Usaid pun meninggalkan mereka dalam waktu cukup lama. Setelah itu, ia kembali dengan rambut yang basah, yang masih meneteskan air sisa bersuci. La berdiri dan mengumumkan pengakuannya bahwa dirinya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
BACA JUGA: Rumah Arqam, Pusat Dakwah Nabi
Berita keislaman Usaid pun tersebar begitu cepat bagai cahaya. Selanjutnya, datanglah Sa’ad ibn Mu’adz untuk mendengarkan kata-kata Mush’ab. Setelah mendengar uraian Mush’ab, ia pun merasa puas lalu masuk Islam. Setelah itu, diikuti oleh Sa’d ibn ‘Ubadah.
Penduduk Madinah berdatangan satu sama lain dan saling bertanya, “Jika Usaid ibn Hudhair, Sa’d ibn Mu’adz, dan Sa’d ibn ‘Ubadah telah masuk Islam, lalu apa lagi yang kita tunggu? Mari kita segera mendatangi Mush’ab untuk beriman bersamanya. Orang-orang berkata bahwa kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya.”
Demikianlah duta Rasulullah yang pertama ini telah meraih hasil gemilang. Keberhasilan yang memang layak dan pantas diraih oleh Mush’ab. []
Sumber: Biografi 60 Sahabat Rasulullah/Penulis: Khalid Muhammad Khalid/ Penerbit: Qisthi Press/ Maret-2015