DALAM masa usianya yang panjang Utsman bin Affan senantiasa ditinggal wafat oleh isteri-isterinya dan beliau segera menikah kembali.
Nailah binti Furaifisha dinikahi Utsman ketika beliau telah menjabat sebagai Khalifah kaum muslimin. Namun posisinya sebagai isteri di saat suami menduduki posisi yang terberat itu tidak membawanya kepada ketenangan yang sejati. Tiba-tiba saja badai berhembus keras. Sedangkan sang suami yang tergolong manusia terpandang tak berdaya menahan gelombang itu, apalagi tangan-tangannya yang kecil dan amat bersahaja itu…
Tuduhan-tuduhan itu begitu bertubi-tubi datangnya. Desas-desus menyebar ke seantero negeri. “Mereka menuduhku kelewat mencintai keluargaku.” Seru Utsman tatkala berbicara di mimbar masjid Nabawi. “Tetapi kecintaanku itu tidak membuatku berlaku sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan jika perlu. Tentang pemberian-pemberianku, maka semuanya aku keluarkan dari harta kekayaanku sendiri. Aku tidak mengambil agak sepeserpun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar…”
Namun pidato beliau tidaklah mampu meredakan suasana. Pasukan kaum muslimin saat itu banyak yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka sama sekali tidak menyiapkan pasukan tempur cadangan di ibukota. Mereka juga tidak menyangka bahwa konflik yang telah berlangsung secara diam-diam itu pada akhirnya membesar dan membuahkan pemberontakan.
Penduduk madinah yang ada pada saat itu segera membentuk lapisan-lapisan pertahanan. Ali bin Abi Thalib mengepalai sebuah kelompok dan mengirim kedua puteranya Hasan dan Husain ke gedung tempat tinggal khalifah untuk melindungi pemimpin kaum muslimin itu. Zubair bin Awwam pun mengepalai sebuah kelompok dan mengirim kedua puteranya Abdullah dan Mush’ab ke gedung Utsman. Thulhah juga mengepalai sebuah kelompok dan mengirim kedua puteranya ke gedung Utsman. Begitu pula shahabat-sahabat yang lain yang tengah berada di kota itu berupaya memberikan sumbangannya bagi keselamatan Khalifah.
Perundingan-perundingan coba diadakan, namun semua menemui jalan buntu. Gedung tempat kediaman Khalifah dan keluarganya dikepung berhari-hari lamanya. Namun, saat itu Utsman masih menunjukkan dirinya dengan keluar pada waktu-waktu shalat guna mengimami shalat berjamaah. Pendekatan-pendekatan ke berbagai pihak terus diupayakan, namun keadaan telah begitu tak menentu.
Nailah tetap berada di dalam rumah yang terkepung itu, setia mendampingi suaminya yang dari segi usia telah udzur itu.
Diluar perkiraan, pemberontak menyerbu lewat atap rumah Utsman bin Affan. Ketika mereka berhasil menerabas ke dalam tidak ada perlawanan apapun yang dapat dilakukan, karena semua pintu tertutup rapat. Al Ghafikki bin Al Harb kepala pemberontak yang datang dari Mesir itu menyerbu ke dalam. Saat itu Utsman tengah menanti shalat shubuh dan membaca kitab suci Al Qur’an di atas sajadahnya.
Sebilah besi diayunkan Al Ghafikki ke tubuh khalifah. Tubuh Utsman mendadak gontai, kepalanya koyak dan darah mengalir deras. Nailah menyaksikan peristiwa itu dengan penuh kepedihan. Tiba-tiba datang seorang pemberontak yang lain, Sudan bin Hamran, sambil mengayunkan pedangnya menebas leher Utsman. Segera Nailah merangkul tubuh suaminya dan menolak ayunan pedang itu dengan tangannya. Ia pun mengerang, jari-jari tangannya putus terhantam pedang…
Pagi itu, 8 Dzulhijjah 35 H, di saat-saat manusia menantikan ibadah haji, Nailah menyaksikan tubuh suaminya terkapar tak berdaya. Khalifah itu rebah meregang nyawa sambil memeluk mushaf yang tengah dibacanya. []