WAHAB bin Munabih rahimahullah berkata, “Tidaklah orang dikatakan faqih hingga menilai musibah sebagai nikmat dan kesenangan sebagai nikmat, karena orang yang tertimpa musibah menanti kelapangan dan orang yang senang menanti datangnya bala.” (Mausu’ah Fiqh al-Ibtida’ 4/50).
BACA JUGA: Ismail Haniyah Sampaikan Takziyah atas Musibah Jatuhnya Pesawat Indonesia
Kesulitan dan kemudahan adalah takdir Allah Ta’ala semua yang menimpa hamba-Nya pasti mengandung hikmah untuk kebaikan dan kemaslahatannya meski terkadang akal terbatas manusia tak mampu mencernanya. Dan para salafush shalih telah memberi formula teladan bagaimana seorang hamba menyikapi musibah yang menimpanya. Musibah dalam pandangan mereka justru membuahkan nikmat luar biasa karena mereka sangat yakin akan datangnya pertolongan Allah Ta’ala.
Orang beriman harus percaya janji Allah Azza wa Jalla,
“Karena sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan” (Qs. Al Insyiroh: 5-6).
Dengan modal di atas insyaallah seorang mukmin tak akan berputus asa bahkan menjalani taqdir musibah dengan sikap optimisme sembari menanti pertolongan Allah Ta’ala. Semua harapan dan cita-cita mulia itu akan terwujud ketika dilandasi semangat iman dan takwa yang kuat akan kemaha-kuasaan Allah Ta’ala. Keyakinan kokoh yang disertai ilmu yang benar bahwa Allah Maha Adil dan Bijaksana kepada semua hamba-hamba-Nya.
Pribadi shalih adalah sosok yang selalu berprasangka baik pada setiap takdir-Nya. Menjauhi keluh kesah dan senantiasa mengimaninya sebagai realisasi iman pada ketentuan-Nya baik yang membahagiakan atau menyengsarakannya.
Profil para salafuna shalih terus memperkokoh ibadah dalam kondisi gembira maupun susah sebagai bukti keimanannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Beribadahlah kepada Allah saat kamu gembira, niscaya Allah akan mengenalmu pada saat kena bencana “ (HR. Al Hakim, di-shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.2961).
Generasi terdahulu sangat antusias beribadah kepada-Nya pada segala situasi dan kondisi, keadaan susah tak menjadikannya surut beribadah dan tatkala Allah melapangkan hidupnya mereka tak kalah bersemangat. Inilah gambaran mempesona potret manusia pilihan yang telah menjual diri dan jiwanya untuk meraih surga. Hati mereka senantiasa tergerak untuk selalu ber-taqarrub pada-Nya, serta memperbanyak permohonan doa dan pengampunan kepada-Nya.
Rasulullah SAW mengajarkan doa:
اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tiada kemudahan selain apa yang Engkau jadikan mudah dan Engkau menjadikan kesedihan ini terasa mudah (ringan) jika Engkau menghendakinya” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya, no. 2427 dan Ibnu Sunni no.351).
Beliau juga mengajarkan doa:
يَا حَيُّ ياَ قَيُّوْم ُبِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
“Wahai Dzat yang maha hidup kekal lagi terus menerus mengurus, dengan rahmat-Mu aku minta perlindungan”. (Dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami‘ no. 4791).
Doa itulah faktor penting agar seseorang mukmin tetap memiliki komitmen kuat untuk tegar saat diuji dengan musibah. Dalam kondisi lapang pun kekuatan sebuah doa tetap diandalkan agar Allah Ta’ala membentengi mereka dari berbagai marabahaya dan perkara-perkara yang mengakibatkan penderitaan hidup lahir batin.
Ada kisah menarik dari seorang sahabat ketika ia ditimpa musibah. Semoga kisah ini menjadi inspirasi maupun pendongkrak kualitas iman kita.
BACA JUGA: Musibah Besar Itu saat Diri Merasa Paling Banyak Ilmunya
Ibnu Abil Jamrah rahimahullah berkata, “Sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu apabila ditimpa musibah maka dia bergembira dan senang dan apabila mendapatkan kelapangan ia gelisah. Ada orang yang bertanya, “Mengapa demikian?” Dia menjawab, “Tidaklah orang ditimpa musibah melainkan akan datang (kepadanya) kesenangan, dan tidaklah orang yang mendapatkan kesenangan melainkan akan datang kepadanya kesedihan, Karena Allah berfirman: “Maka sesungguhnya bersama kesedihan ada kegembiraan” (Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’ish Shaghir. 5/386).
SUMBER: MUSLIMAH