Oleh : Sri Rahmawati
zahraluvtheearth@gmail.com
SEPULANG suami saya dari Medan, saya terharu mendengar kisah yang disampaikan beliau sepanjang perjalanannya dari Medan menuju Jakarta.
Di antara penumpang pesawat, tampak seorang nenek yang tergopoh- gopoh sambil menggendong cucunya yang berusia dua tahun, dengan beberapa tas jinjing di tangannya, hingga dia tiba di kursi pesawat. Nenek dengan tampilan sederhana itu membuat suami saya iba, baju yang dikenakannya hanya selembar kain daster, tanpa diselimuti jaket begitu juga cucu kesayangannya.
BACA JUGA: Kisah Ibu dan Bayi Saat Azab Banjir di Zaman Nabi Nuh
Tampak sepanjang perjalanan itu cucunya itu tidak tenang, susah tidur saking menahan dinginnya AC yang menusuk tulang. Sepertinya ini kali pertama perjalanan nenek menggunakan pesawat, begitu repotannya beliau memasangkan safety belt di pinggangnya.
Nenek tadi tinggal di Sibolga, mempunyai beberapa orang anak, salah seorang anak perempuannya menitipkan anaknya kepada nenek tadi untuk beliau besarkan, entah mengapa anak perempuannya ini memutuskan untuk tidak membesarkan anak dengan tangannya sendiri. Anak perempuan nenek tadi bekerja di Bangka, jarak yang sangat jauh antara Sibolga dengan Bangka.
Lantas mengapa sang nenek pergi sendirian ke Bangka? Beliau bercerita dengan raut wajah bersedih, bahwa anak perempuannya ini telah menyerahkan begitu saja cucunya kepadanya untuk dibesarkan dan dididik, begitu berat bagi beliau yang sudah tua dan lemah ini mengurusi sang cucu.
Mengenai biaya membesarkan si anak bagaimana? Nenek tadi menjawab, “saya hanya dikirimi 3 juta rupiah sebulannya oleh anak saya untuk membesarkan anaknya ini, cucu kesayangan nenek.” Mana cukup biaya segitu untuk membesarkan seorang anak?
Lantas kemana keluarga nenek yang lain, tidak adakah yang ikut mengantar? Dengan polosnya nenek menjawab, saya disuruh anak perempuan saya, kangen katanya sama cucu saya, tolong antarkan ke Bangka karena dia ingin bertemu anaknya ini, tiket sudah diurus, nenek berangkat saja. Miris hati saya mendengar kisah ini, begitu gampangnya seorang anak menyuruh ini menyuruh itu kepada ibu kandungnya yang lemah ini.
Nenek tampak kelelahan selama di dalam pesawat sambil menenangkan cucunya yang rewel terus menerus. Pantas saja beliau lelah, karena siangnya tadi beliau menempuh perjalanan darat 4 jam dari Sibolga tempat tinggalnya menuju bandara di Medan. Pesawat kami baru take off dari Medan menuju Jakarta jam 8 malam setelah delayed lebih dari 1 jam.
Setiba di Jakarta, nenek tadi harus menunggu pesawat selanjutnya yang akan membawanya menuju Bangka, yang baru akan terbang jam 11 malam. Dua jam beliau menunggu di Jakarta, beristirahat di atas lantai salah satu lorong di dekat ruang tunggu bandara bersama cucunya yang masih belum tenang dari rewelnya.
Hikmah bagi saya dari kisah, bahwa betapa teramat pentingnya anak mendapatkan pendidikan adab kepada orangtua, karena banyak sàat ini kondisi yang mirip dengan kisah nenek tadi. Tidak sedikit kita lihat para perempuan bekerja di luar sana yang dengan sadar mereka menitipkan anak-anaknya kepada orang lain, yaitu orangtuanya sendiri.
Padahal dalam Islam sangat jelas bahwa yang akan dihisab kelak oleh Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan pengurusan seorang anak di dunia adalah kedua orangtuanya, yaitu ayah ibunya, terutama ayahnya pemimpin keluarga, bukan kakek neneknya, bukan tetangganya, bukan pula baby sitternya.
BACA JUGA: 10 Cara Agar Anak Rajin Shalat
Wahai para orangtua, kenalkanlah kepada anak-anak sedari dini pendidikan tentang adab berbakti kepada orangtua, bagaimana seharusnya mereka dibahagiakan, dimuliakan, dihormati, dihargai, dicintai, dan dilindungi di masa tuanya, terutama ibunya, ibunya, dan ibunya, sebagaimana Rosululloh SAW menyebutkannya sebanyak tiga kali, baru terakhir ayahnya.
Sebetulnya pada tulisan ini saya lebih menitikberatkan peranan lelaki sebagai pemimpin, yaitu ayah dari cucunya nenek tadi, ayahnya ini masih ada, namun sangat kurang memperhatikan anaknya, bahkan tidak peduli. Banyak di negeri ini, di sekitar kita, kondisi fatherless, ada sih ada wujudnya sang ayah tapi tanpa peran atau figur sedikitpun bagi anak-anaknya karena para ayah ini enggan dan malas mengemban tugas dan kewajibannya untuk melindungi keluarga dari dahsyatnya api neraka.
Dalam Islam, seorang ibu sejatinya berada di rumah untuk mencetak generasi muda yang gemilang, bukan untuk disibukkan dengan peran mencari nafkah. Karena yang wajib mencari nafkah adalah para suami yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah kelak. Wallahu A’lam bish Showab. []
RENUNGAN adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim tulisan Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari RENUNGAN di luar tanggung jawab redaksi Islampos.