HAID merupakan siklus rutin yang dialami kaum hawa selama periode tertentu setiap bulan. Pada masa haid, seorang muslimah tidak dibolehkan melaksanakan beberapa ibadah wajib seperti sholat dan puasa Ramadhan. Namun, jika masa haid telah selesai, kewajiban ibadah itu harus kembali dikerjakan. Agar bisa kembali menjalankan ibadah ini, muslimah harus bersuci terlebih dahulu, yakni dengan mandi wajib atau tayamum, segera setelah haid selesai.
Seorang muslimah dapat mengenali masa sucinya dengan mengenali salah satu dari dua tanda. Yakni:
1. Keluarnya cairan bening ataupun kecoklatan, atau keringnya vagina.
2. Pengetahuannya sendiri tentang siklus haid yang biasa dialaminya –mengenali tabiat darah haid, kapan awal mula keluarnya, dan kapan berakhir.
BACA JUGA: Muslimah, Ini Waktu Lamanya Haid Menurut Para Ulama
Dalam kitab Shahih, Imam Bukhari membuat satu bab khusus masalah ini, dengan judul: Iqbal Al-Mahidh wa Idbarihi (Bab tentang Datang dan berhentinya haid).
Dalam bab tersebut, beliau membawakan atsar:
Bahwa dulu para wanita menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan membawa tas kecil berisi kapas yang ada shufrah (cairan kekuningan). Kemudian Aisyah mengatakan:
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Jangan kalian terburu-buru, sampai kalian melihat al-Qasshah al-Baidha’.”
Bukhari mengatakan: “Maksud Aisyah adalah (jangan buru-buru merasa telah) suci dari haid.” (Shahih Bukhari, 1:71).
Terdapat beberapa pendapat ulama tentang makna al-Qasshah al-Baidha’ pada keterangan Aisyah di atas:
Pertama, al-Qasshah al-Baidha’ adalah kapasnya masih utuh putih sebagaimana serpihan batu bata putih. Sehingga maksud perkataan Aisyah adalah jangan kamu terburu-buru menganggap sudah suci sampai kamu melihat kapas yang dimasukkan ke farji itu bersih (tetap putih) tidak ada bekas darahnya dengan berbagai macam warnanya, termasuk sufrah. Penafsiran ini diberikan Ibnu Rajab dan beberapa ulama lainnya.
Kedua, al-Qasshah al-Baidha’ adalah cairan putih yang keluar sebagai tanda berhentinya haid. Tafsir kedua ini merupakan tafsir Imam Malik, az-Zaila’i, dan beberapa ulama lainnya. Sehingga maksud Aisyah adalah bahwasanya tanda sucinya haid itu dengan keluarnya cairan putih. (Mausu’ah Kuwaitiyah 2:12197 dan Syarh Shahih al-Bukhari Ibn Rajab 2:126).
Al-Qasshah al-Baidha’ memuat dua makna di atas. Karena tidak semua wanita memiliki tabiat yang sama ketika haid. Bagi wanita yang memiliki kebiasaan mengalami keputihan pasca haid, maka berhentinya haid ditandai dengan keluarnya cairan itu. Sementara bagi wanita yang tidak mengalami keputihan pasca haid maka indikator berhentinya haid adalah kepastian tidak ada lagi cairan yang keluar. Sehingga ketika dibersihkan dengan kapas maka kapas itu masih putih seperti semula. (Fatwa Islam, no. 5595)
Keterangan ini dikuatkan juga oleh pendapat sejumlah ulama.
Syiekh Ibnu Baaz berkata: “Yang dimaksud dengan masa suci adalah hilangnya bekas darah, jika seorang wanita membersihkan daerah kewanitaannya dengan kapas atau semacamnya sudah tidak menemukan bekas darah maka segera mandi, meskipun ia tidak melihat “Qashshah Baidha’” (cairan bening yang ditunggu-tunggu oleh sebagian wanita pada akhir masa haidnya). Jika dia mendapati cairan bening maka menjadi pertanda kalau masa haidnya sudah berakhir, sebagian wanita lainnya tidak mendapatkan hal itu, maka yang menjadi ukuran adalah bersihnya daerah kewanitaan, jika dia telah membersihkannya dengan kapas atau yang semacamnya dan ternyata sudah bersih, tidak ada flek kecoklatan atau kekuningan yang tersisa, maka segera mandi besar, meskipun ia tidak melihat cairan bening”. (Fatawa Nuur ‘Ala Darb: 5/411)
Sementara itu, Imam Nawawi berkata: “Tanda berakhirnya haid dan keberadaan masa sucinya, bahwa keluarnya darah dan flek kekuningan dan kecoklatan akan terhenti, jika sudah terhenti maka seorang wanita dianggap sudah suci, meskipun setelahnya keluar cairan bening atau tidak”. (Al Majmu’: 2/562)
Namun, sebagian wanita mungkin tidak melihat kedua tanda tersebut, maka mengeringnya daerah kewanitaan menjadi tanda selesainya masa haid dan masuk waktu untuk segera bersuci.
Oleh karena itu, bagi muslimah yang mengetahui siklus haid yang biasa dialaminya, dia dianjurkan untuk memeriksa daerah kewanitaannya. Jika sudah tiba masa berakhir haid atau mendekati masa suci, maka hendaknya pemeriksaan ini dilakukan sebelum tidur atau pada waktu-waktu shalat. Jika tanda suci sudah bisa diketahui dengan yakin dan pasti, maka ia sudah memasuki masa suci, dan jika dia belum melihatnya maka ia masih berada dalam masa haid.
Disebutkan dalam Mawahib Al Jalil karya Al Hithab Al Maliki (1/372):
“Malik berkata: “Tidak seharusnya bagi seorang wanita untuk memeriksa kesuciannya pada malam dan subuh dini hari, akan tetapi jika ia mau tidur atau akan melaksanakan shalat subuh harus memeriksanya, juga wajib memeriksanya pada saat waktu-waktu shalat (lainnya)”.
Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Hukum asalnya adalah dianggap tetap pada masa haid sampai ia meyakini kesucian dirinya, dan memang demikian adanya, semua yang sudah ada hukum asalnya tetap dalam keberadaannya, sampai ada keyakinan bahwa yang ada itu sudah hilang”. (Jalasaat Ramadhaniyah: 5/17 sesuai dengan Maktabah Syamilah)
BACA JUGA: Keluar Tetesan Darah Setelah Mandi dari Haid, Bagaimana?
Allah tidak menjadikan manusia pada agama mereka terdapat kesulitan, hukum-hukum syariat sangat toleran, tidak ada kesulitan dan kerusakan, bahkan semuanya mudah.
Jika seorang muslimah salah dalam menentukan masa sucinya karena didasarkan pada prasangka dan hasil ijtihadnya, maka dia tidak berdosa. Ini berdasarkan firman Allah SWT:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”. (QS. Al Ahzab: 5) []
SUMBER: ISLAMQA | KONSULTASI SYARIAH