Oleh: Faris Ibrahim, Mahasiswa Al-Azhar University, Cairo
fareiss.abraham@gmail.com
PEREMPUAN dalam Islam bukanlah sekedar jenis dari satu jenis lainnya. Ia memiliki hak dan kewajiban, ia memiliki hak mengecap yang menjadi haknya, dan berkewajiban melakukan apa yang yang wajib baginya. Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah ukuran ia bersikap, berkata, dan bergerak.
Dialah rahasia soko peradaban Islam, darinya lahir pahlawan, cendekiawan, dan pemimpin peradaban yang menghiasi literatur sejarah, namun masalahnya, tatkala ia dihadapkan dengan sebuah kondisi zaman di mana kekuasaan bergulir dan terlepas dari digdaya keislaman, mulailah muslimah hilang ‘pegangan’, dikarenakan luputnya teladan dan tuntunan.
Kekosongan tersebutlah yang menyebabkan ia meraih apapun itu yang dapat dijadikan ‘pegangan’ untuk dapat tetap exist dan resist di kentara pergulatan zaman. Salah satu ‘pegangan’ yang diraihnya adalah produk luaran yang merupakan tuntunan kehidupan materialistis tanpa ujung. Akhirnya, mulailah ‘pegangan’ tersebut dianggap sebagai penyelamat, solusi berkehidupan dan lambang modernitas pengganti kekolotan. Pegangan tersebut melukai kehormatan sucinya, mengotori pikiran cemerlangnya, dan membutakan mata hatinya.
Muslimah mengalami keracunan identitas. Masalah itulah yang menimbulkan perhatian khusus di kalangan pemikir-pemikir Islam dan ulama’ yang kiranya penting bagi mereka menyoal masalah itu untuk dicarikan jalan keluarnya. Maka munculah karya-karya monumental sebagai refleksi dari pencarian solusi dari masalah tersebut, di antaranya buku pemikir Islam, Muhammad Imaroh, yang berjudul Liberalisasi Perempuan Antara Barat dan Islam, dan catatan kecil Syaikh yusuf Qardhawy, yang berjudul Muslimah Masa Depan. Di antara keduanya, buku Syaikh Qardhawy lah yang mengilhami tulisan ini.
Dalam catatannya itu, Syaikh Qardhawy mengungkapkan mengapa ia menulis catatannya tersebut dengan judul Muslimah Masa Depan?(1) Ia mengungkapkan, dari sejak 15 tahun sebelum catatannya tersebut diterbitkan ia telah wanti-wanti di setiap kuliah-kuliahnya di lembaga-lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi. Bahwa “sangat disayangkan, gambaran muslimah modern tidaklah sebagaimana mestinya seorang muslimah”. Ungkapan tersebut semata-mata hanyalah sebagai generalisasi, ia tidak menafikan masih adanya muslimah- muslimah yang masih komitmen dengan keislamannya.
Dari tulisan Muhammad Imaroh dan Yusuf Qardhawy itulah hendaknya kita menyadari, bahwa muslimah kita benar-benar dalam masalah saat ini. Ada keracunan identitas yang dialaminya, sensornya malfungsi menerka kebenaran dan kesalahan. Semua karena asupan gizi pemikiran dan perasaan yang tak sesuai fitrahnya yang disuapkan oleh produk-produk berkehidupan materialistis asing. Sehingga penting bagi kita memerhati kondisi muslimah-muslimah kita hari ini, yang merupakan rahim kejayaan, kemajuan dan soko peradaban.
Muslimah modern di antara dua arus berkehidupan. Permasalahan muslimah hari ini adalah permasalahan identifikasi identitas. Ia tidak bisa memosisikan dirinya dalam arus deras zaman, sehingga ia terjebak dalam salah satu dari dua arus yang keduanya merupakan sesat pikir. Yang pertama adalah liberalisme, kemudian ekstremisme, terlalu kanan dan terlalu kiri, yang satu terlalu membuka diri dan yang lainnya terlalu menutup diri, yang satu melampaui batas, dan yang lainnya terlalu membatasi diri. Sehingga serba salah akhirnya. Padahal Islam merupakan instrumen yang mengajarkan proporsionalitas, “dan yang demikian itu kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan”(2), karena muslimah sejatinya merupakan asas dari sebuah bangunan peradaban, ialah pilar yang melahirkan, membesarkan dan membina sumber daya kemanusiaan, maka dari itu Hassan Al-Banna berkata “aku ingin dakwah ini sampai pada janin yang berada di perut ibunya”(3).
“Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)”(4), sebenarnya tidak ada masalah bersemangat dalam berislam, bahkan itu yang terbaik. Inilah yang perlu kita kritisi dari buku Islam Radikal milik Syaikh Usamah Al-Azhary. Ia membuat framing buruk tentang orang-orang yang bersemangat dalam berislam, tanpa menekankan “bersemangat itu boleh namun terikat aturan”. Begitu pula dengan muslimah modern, mereka terhimpit dalam pemahaman Islam yang kaku mengenai identitasnya. Sehingga ia cendrung kurang produktif, bahkan ia sebenarnya malah membangun opini publik. Bahwa Islam adalah agama eksklusif, yang tidak dapat berbaur dengan lingkungan, padahal tidak sama sekali.
Kita temukan muslimah yang dikhitbah akan tetapi yang mengkhitbahnya tidak melihatnya sama sekali, kemudian datanglah hari di mana ia yang mengkhitbah kebingungan. Dengan sifat manusiawinya ia kaget karena pasangannya tidak sebagaimana yang ia bayangkan parasnya. Kerancuan inilah yang akan kita temukan dalam ketidaktahuan dan pemahaman yang eksklusif. Padahal ada hukumnya, “lihatlah ia (yang akan dilamar) karena hal itu akan lebih menimbulkan kasih saying dan kedekatan di antara kalian berdua”(5).
Namun karena anggapan menampakkan diri adalah hal yang tabu bagi seorang muslimah akhirnya urung untuk dilakukan. Hal ini berlanjut pada saat penjodohan anak perempuan, seorang suami mengabaikan pendapat istrinya, karena anggapan ia cukup mengurusi urusan dapur dan seluk beluk rumah. Sedangkan urusan hubungan yang menyangkut eksternal keluarga sepenuhnya miliknya, terutama soal penjodohan. []
BERSAMBUNG