Oleh: Nur Aini
Guru, tinggal di Pare, Kediri, Jawa Timur.
PRIHATIN dengan polemik yang menyertai kematian seorang artis di negeri ini, sebelum jenazahnya dimakamkan sempat terjadi perdebatan agama sang pesohor itu. Ibunya bersikeras anaknya Nasrani, namun sang ayah dengan tegas ingin mengebumikan anaknya secara Islam. Sungguh jalan berliku yang harus dilalui.
Ketidakjelasan identitas agama, berimbas hingga kematian datang. Hikmah bagi yang masih hidup, perjelaslah identitas agama kita. Agar ada orang yang menjadi saksi bahwa kita adalah muslimah, sehingga di saat akhir hayat nanti saudara kita bisa melaksanakan kewajibannya sebagai sesama muslim, dan kita pun juga bisa mendapatkan hak sebagai seorang muslim.
Memperjelas identitas agama bukan berarti memamerkan siapa diri kita atau riya’ dengan amal, hanya sebatas agar orang lain lain bisa menilai kita secara dhahir. Ada beberapa hal yang saat ini bisa dilakukan seorang muslimah untuk memperjelas identitas sebagai muslim.
Identitas ini sangat penting, agar di saat opini kebebasan dan toleransi akhir-akhir ini mencuat, dan opini tersebut malah cenderung pada dianggap tidak pentingnya identitas keagamaan. Apa-apa yang mengedapankan syariat, dianggap sebagai sikap intoleran. Dan sikap untuk mengabaikan syariat dianggap sebagai bagian dari kebebasan.
Pertama, pakaian.
Pakaian adalah identitas terluar yang sangat mudah diindera. Pakaian muslimah yang disyariatkan Allah SWT adalah menutup aurat, yaitu dengan menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Sebagaimana perintah Allah dalam Surah Annur Ayat 31, muslimah wajib mengenakan kerudung sebagai penutup aurat, dan disempurnakan dengan perintah baju jilbab dalam surah Al Ahzab ayat 59.
Dengan berkerudung dan berjilbab orang lain akan mudah mengetahui bahwa kita seorang muslimah. Pakaian ini sangat membantu orang lain mengidentifikasi agama kita saat ini.
Bagi yang belum berkerudung menutup aurat, pertimbangkanlah. Jika suatu saat berada di daerah yang jauh dari tempat tinggal, tidak semua orang mengenal kita. Kita berkendara sendiri dan terjadi kecelakaan hingga tidak sadar atau bahkan meninggal. Kemungkinan terburuk menjadi mayat tak dikenal, maka petugas rumah sakit yang menjadi tempat bersemayam jenazah tidak bingung, dan bisa memenuhi kewajiban terhadap seorang muslim, yaitu mengurus jenazahnya sesuai syariah.
Kedua, salat berjamaah.
Syarat minimal jumlah orang dalam salat jamaah adalah dua orang. Jika kita menjadi makmum, setidaknya ada satu saksi bahwa kita adalah seorang muslim, dan tanda terpenting bagi seorang muslim adalah mengerjakan salat.
Lebih baik lagi jika berjamaah di masjid di sekitar tempat tinggal. Sekali lagi bukan karena pamer, namun untuk memperlihatkan bahwa kita adalah muslim yang masih salat, karena salat adalah pembeda antara iman dan kafir. Maka kelak ketika meninggal kita masih layak untuk disalatkan.
Ketiga, mendatangi majelis taklim atau pengajian.
Memang tidak sekadar datang, namun juga berinteraksi dengan peserta majelis taklim yang lain. Berbagi cerita, saling menasehati, saling mengenal, saling mengunjungi untuk menjalin ukhuwah islamiyah.
Dengan cara ini insya Allah saudara seakidah tidak akan berdiam diri ketika kita membutuhkan bantuan. Meski membantu sesama manusia dalam hal kebaikan tidaklah memerlukan informasi identitas agama, namun ketika kita saling tahu tentang identitas agama maka ikatan dan keinginan untuk meringankan akan semakin kuat. Karena memang ada perbedaan dan persamaan dalah hal hak dan kewajiban saat berinteraksi dengan muslim maupun nonmuslim.
Itulah tiga identitas yang bisa kita tunjukkan di tengah masyarakat. Sekali lagi, bukan untuk pamer tetapi untuk memudahkan tertunaikannya hak dan kewajiban yang memang sudah diatur dalam Islam.
Memang tantangan saat ini sangat besar, seorang muslim yang berkeinginan kuat untuk taat dengan syariat terkadang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Istiqamah menutup aurat dicap sebagai orang fanatik bahkan diidentikkan dengan pendukung teroris. Atau bahkan ada yang tidak mau menutup aurat karena terpengaruh pemikiran liberal sekuler.
Menolak menutup aurat karena menutup aurat dianggap sebagai bentuk pengekangan, mempunyai seribu alasan menunda berpakaian syar’i. Begitu pula dengan salat jamaah, kesibukan duniawi seringkali membuat lalai. Salat jamaah pun dianggap bukan prioritas, meramaikan masjid di saat salat juga terbaikan.
Apalagi dengan majelis taklim, fakta membuktikan seringkali peserta majelis taklim lebih sedikit daripada acara sia-sia tak berguna semacam menonton konser musik. Semangat mendatangi majelis taklim juga belum berimbang jika dibandingkan dengan mendatangi arisan, mendatangi promo barang baru atau hanya sekadar meramaikan car free day.
Acara-acara tersebut meski berbayar atau malah gratis lebih menjadi prioritas jika dibandingkan dengan majelis taklim yang jarang sekali berbayar. Belum lagi jika sudah terpengaruh dengan opini radikalisme, tuduhan majelis taklim yang kaffah seringkali memunculkan sikap radikal semakin membuat ciut nyali sebagian umat Islam. Lebih baik dicap sekular dan liberal daripada dianggap sebagai muslim fanatik, apalagi radikal. Sungguh cap yang sangat mengerikan.
Terakhir, memang yang terpenting adalah ketakwaan yang tak perlu dipamerkan. Cukup dijalani saja. Tidak perlu banyak kata, taat syariat tanpa syarat, kita mendengar dan kita taat. Namun tidak ada salahnya identitas kita sebagai seorang muslimah kita tunjukkan, dengan diiringi niat ikhlas. Berpakaian menutup aurat, salat jamaah dan menuntut ilmu semata karena Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab. []