Perdamaian adalah maslahat kemanusiaan yang agung.
Tapi manusia tidak selalu mencintainya sejak awal.
-M. Anis Matta-
DI zaman ini bermusuhan agaknya kata yang tabu. Atau rumit. Dalam dunia yang digerakkan semangat ruhani dan sekaligus juga kemanusiaan, hindar-hindar dari kata ini telah sejak mula digalakan. Bermusuhan adalah kata yang tabu. Dan tabu pula bersamanya kata iman dan agama. Dengan menuduh iman dan agama sebagai akar terjadinya permusuhan, maka kehidupan masa depan hendaknya dijauhkan dari iman dan agama. Inilah yang diharapkan musuh-musuh di jalan cinta pejuang.
Ah, maaf. Saya memakai kata musuh.
Sayang nian, di antara kita kemudian mengaminkan sebagian dan pinta sekaligus paksa itu. Kita mencoba-coba mengatakan, “Tidak! Agama bukanlah sumber konflik. Orang yang menghayati agamanya dengan benar, akan mencintai perdamaian, cinta kasih, dan kemanusiaan. Semua agama mengajarkan itu, “Sepertinya benar.
Tetapi, tidakkah engkau melihat bagaimana Allah berbuat terhadap pasukan gajah? Dari sana kita akan belajar tentang hakikat di balik perang, pertarungan, dan permusuhan sepanjang zaman. Mari kita mulai dari negeri tempat para pasukan gajah itu berangkat.
Yaman. Sebuah dataran yang makmur di ujung selatan jazirah Arab. Dari tempat inilah nenek moyang bangsa Arab berasal dengan kabilah intinya, Al-Qahthan. Di tanah ini pernah berjaya kerajaan Saba’ yang mansyhur dengan ratu Balqis dan bendungan Ma’rib-nya. Hingga suatu saat, banjir besar yang dikenal sebagai Sailul’Ariim menenggelamkan negeri, melantakkan kebun-kebun suburnya, menyisakan tetumbuhan berbuah pahit ‘Atsl dan Sidr. Maka suku-suku Arab itu bergerak ke utara dan timur laut, menjelajahi gurun, mencari pemukiman baru. Sementara tinggal, silih berganti dijajah peradaban adikuasa masa itu;Romawi dan Persia.
Beberapa tahun menjelang kelahiran Rasulullah SAW, seorang panglima besar bernama Dzu Nuwas melakukan kudeta dan kemudian bertahta di Shan’a. Dzu Nuwas, tergambar dalam sejarah sebagai seorang yang cinta agama, ketat dalam kehidupan relijiusnya, dan berpenampilan sederhana. Uniknya, dalam sisi-sisi lain dia adalah seorang diktator kejam yang membuat habis lawan-lawan politiknya.
Dzu Nuwas, bagaimana pun adalah seorang yang sangat antusias dalam diskusi dan dialog tentang iman dan agama. Dalam suatu kunjungan ke Yastrib, ia berdiskusi dengan beberapa rabbi Yahudi yang nenek moyangnya berpindah ke sana sejak penjajahan Herodes di Palestina. Dzu Nuwas merasa menemukan sebuah agama yang sangat dikaguminya; memiliki ajaran mengikat, teologi yang tak rumit, dan aturan hukum yang ketat lagi jelas. Ia menyukainya. Ia pun memeluk agama Yahudi.
Dzu Nuwas yang Yahudi, mencoba memaksa seluruh rakyatnya untuk mengikuti kebenaran yang diyakininya. Tentu saja benturan tak terhindarkan; terutama dengan komunitas Nasrani yang dalam pandangan Dzu Nuwas adalah agama yang gila penyembah manusia, sistem kepercayaan kabur, bidat, dan tak memiliki hukum. Itu bukan agama, katanya. Itu ilusi sesat, bisikan syaithan pada para rahib dan pendeta yang membujang, hidup kotor dan kelaparan.
Komunitas Nasrani terpenting dan terbesar di Yaman adalah orang-orang Najran yang tinggal di belahan utara Yaman, di tepi gurun kosong. Merekalah sasaran perang dan penghancuran Dzu Nuwas. Dengan pasukan besarnya dihancurkannya komunitas ini hingga rantas tercerai-berai. Sebuah pembantaian besar yang menelan korban ribuan manusia; laki-laki perempuan, kanak maupun dewasa dilangsungkan di sebuah parit berapi.
Saat itu, seorang Nasrani Najran lolos dan dalam pelariannya berhasil mencapai konstantinopel, ibukota kekaisaran Romawi Timur. Ia mengadukan nasib kaumnya dengan sebuah pidato mengesankan di Hagia Sophia, gereja tersuci kepausan timur. Herkulius, sang kaisar, sang pelindung pengikut Salib, mengirim surat pada sekutunya, Negus,Raja Habasyah di Ethiopia untuk menyerbu Yaman. Yaman yang dipimpin raja Yahudi Dzu Nuwas memang hanya terpisah secelah lautan dari Ethiopia yang Masehi.
Penyerbuan ini dipimpin seorang panglima agresif bernama Abrahah. Ringkas kisah, keberhasilan Abrahah menggulingkan Dzu Nuwas membuatnya diangkat menjadi raja muda di Yaman. Untuk mencabut akar-akar agama Yahudi di Yaman, Abrahah membangun sebuah gereja agung yang sangat indah di Shan’a. Melangkah lebih jauh, ia mencoba menghilangkan ziarah suci bangsa Arab ke gerejanya. Tetapi pesona gereja itu tak sanggup menandingi daya tarik Ka’bah yang mewariskan jejak Ibrahim dan Ismail. Terbitlah cemburu spiritual Abrahah. Tak ada jalan lain selain menghancurkan bangunan kotak batu hitam itu, bangunan yang terlalu sederhana bagi Abrahah untuk disebut suci.
Berangkatlah pasukan besar itu, dengan hingar bingar sepanjang jalan. Gajah-gajah yang nelalainya dipersenjatai gelang-gelang berduri runcing menjadi barisan depan menakutkan. Dzu Nafar, seorang pemimpin kabilah Arab pengembara dan Al-Khats’ami mencoba menghadang Abrahah. Pasukan berkuda Dzu Nafar yang terkenal ketangguhannya hancur berantakan. Kuda-kuda gesitnya kaget melihat gajah-gajah menyeramkan Abrahah, lalu menjadi sasaran hantaman belalai-belalai bergelang mematikan itu. Mereka gagal. Kalah. Takluk. Al-Khats’ami yang tertawan bahkan dipaksa menjadi penujuk jalan ke Mekkah.
Di padang gembalaan Al-Mughammas, antara Thaif dan Makkah, pasukan Abrahah merampas ribuan heawan ternak. Termasuk diantaranya adalah 200 ekor unta mili ‘Abdullah Muthalib, pemimpin Makkah, datuk Rasulullah SAW. Mencoba menjajaki kekuatan lawan, Abrahah mengirim utusan kepada pemimpin Makkah itu, mengajaknya berunding; bahwa dia hanya ingin menghancurkan Ka’bah, bukan yang lain.
‘Abdul Muthalib datang dengan pesona seorang keturunan Isma’il; tampan, ranggi, anggun, dan santun. Abrahah kagum dan bersimpati padanya. Dia bahkan turun dari singgasana besar di kemahnya lalu duduk bersama di atas permadani dengan ‘Abdul Muthalib.
“Aku datang dengan pasukan yang telah menaklukan Yaman, yang jaya tak terkalahkan, hanya untuk menghancurkan Ka’bah. Tak ada maksud lain. Jika engkau dan pengikutmu tak menghalanginya, aku jamin bagimu keselamatanmu dan semua kaummu!
“Silahkan saja. Tapi sebelumnya, tolong kembalikan 200 ekor unta untuk saya yang telah kau rampas!”
“Apa?! Demi Al-Masih dan ibunya yang suci! Aku tak percaya orang sepertimu, yang kuhormati begitu kulihat tadi, ternyata memuakkan! Menjijikan!” Abrahah bangkit sambil melemparkan pandangan menghina pada ‘Abdullah Muthalib. “Demi Salib agung! Gila! Bagaimana mungkin kau tak peduli ketika lambang suci agamamu hendak kuhancurkan?!”
‘Abdullah Muthalib tersenyum. “Ka’bah penya pemilik”, ujarnya “Dan akau hanyalah pemilik 200 ekor unta.”
Bersambung…
Sumber: Jalan Cinta Para Pejuang/Salim A. Fillah/Pro-u Media