KITA tinggalkan Abrahah dan ‘Abdul Muthalib. Kita kini belajar bahwa dalam hiruk-pikuk di Yaman dan Hijjaz, konflik agama menjadi latar belakang semua jenis pergolakan politik, ekonomi, maupun militer. Bukan sebaliknya. Dzu Nuwas menghancurkan orang Nasrani Najran atas nama Yahudi. Kaisar Romawi dan Raja Habasyah juga bertindak atas anama Nasrani. Abrahah menghancurkan Yahudi, dan juga menyerang Ka’bah, semua itu atas nama agama Nasrani.
Mungkin kita bisa menelisik, apakah para pembesar yang terlibat dalam pergolakan ini; Dzu Nuwas, Heraklius, Negus, dan Abrahah adalah pemeluk agama yang baik, yang bertabur keshalihan dalam setiap tindakananya. Dan jawabannya bisa jadi adalah bukan. Baik. Jadi bisa kita katakan bahwa agama bukanlah sumber konflik.
Tetapi semua pertimbangan politis Szu Nuwas, Heraklius dan Negus, maupun Abrahah tidak bisa dilepaskan dari agama mereka. Atau minimal pemeluk agama mereka. Bayangkan misalnya, sulitnya kedudukan Heraklius di hadapan Patriark dan Uskup-uskupnya jika ia tak turun tangan membela orang-orang Nasrani yang tertindas. Kemenangan Abrahah juga terasa hampa, karena ia tak berhasil menjayakan agama Nasrani yang murni di Yaman. Sekali lagi, yang terjadi adalah konflik agama, itu juga benar.
Mari kita ingat dua hal yang saling menyisi ini; agama bukanlah sumber konflik dan konlik agama selalu terjadi. Sebagai seorang muslim di jalan cinta para pejuang, kita lalu dengan mudah bisa melihat dan menganalisis. Geoge Bush, relijiuskah dia? Itu bisa dipertanyakan motif politik dan ekonominya beraroma kuat. Tetapi di sebaliknya, dan di sebalik presiden Amerika—Kaisar Romawi zaman ini—, bekerja tangan-tangan yang sangat relijius, yang dengan sejuta jari telunjuk mencoba mengarahkan kita, “Tinggalkan keyakinan kalian, karena hanya dengan begitu agama kami yang akan berjaya di bumi!”
Maka, kita sulit percaya bahwa krisis yang melanda negeri sejak 1997 itu semata-mata peristiwa ekonomi. Tidak! Ini dilatar belakangi oleh peristiwa agama. Bahawa kebangkita Islam di Asia Tenggara sudah mulai mengancam. Coba tengok sorotan media terhadap kawasan ini. Asia Week pernah memuat sebuah ulasan, “The Face of Islam in Asia”. Gambar covernya; seorang wanita berjilbab mengendarai skuter matik dengan latar belakang pabrik dan pencakar langit. Artinya, di kawasan ini orang bisa memadukan keberagaman, pertumbuhan ekonomi, dan teknologi sekaligus. Itulah yang mengancam!
Maka kita, lebih-lebih lagi, sulit percaya bahwa krisis di Timur Tengah hanya masalah minyak atau kepengecutan para Raja dan Amir!
Di jalan cinta pejuang, kita tak mudah percaya bahwa suatu peristiwa hanyalah peristiwa ekonomi, politik atau militer saja. Maka taka layak kita meniadakan kata permusuhan dari hidup kita. Untuk ini ijinkan saya mengajukan satu alasan lagi. Yakni, karena Al-Qur’an, kita suci di jalan cinta pejuang itu mengulang kosa kata musuh dan permusuhan sebanyak lebih dari 80 kali. Karena Al-Qur’an menegaskan bahwa iman dan kebatilan mustahil berdamai. Di jalan cinta para pejuang membaca Al-Qur’an menjadikan musuh-musuh cinta hanya bisa berselimut kaca..
Cabutlah akar-akar zaitun dari genggaman bumi
Penjarakanlah musim semi
Perangilah butir-butir hujan
Lakukan semuanya
Tapi jangan coba dekati Al-Aqsha
-Jehad Rajbi-
Sumber: Jalan Cinta Para Pejuang/Salim A. Fillah/Pro-u Media