NABI adalah orang bijak, bahkan sebelum dia menerima wahyu Al Qur’an dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika Nabi masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun, orang-orang di kota asalnya, Makkah, memutuskan untuk membangun kembali Ka’bah.
Karena ada banyak keluarga besar di Makkah, mereka bekerja secara terpisah, keluarga demi keluarga, sampai temboknya cukup tinggi menutupi batu hitam itu.
BACA JUGA: Ketika Nabi Disebut Sebagai Tukang Sihir
Kemudian sebuah argumen yang penuh kekerasan pecah di antara mereka; setiap keluarga menginginkan kehormatan untuk meletakkan batu hitam itu ke tempatnya. Ketidaksepakatan berlangsung selama empat atau lima hari dan kemarahan meningkat sampai-sampai mereka siap bertarung dengan menggunakan senjata. Saat itulah pria tertua yang hadir di istu menyarankan sebuah solusi.
Dia berseru, “Hai orang-orang Quraisy, ambillah hakim di antara kamu, orang pertama yang masuk melalui pintu gerbang Masjidil Haram ini.”
Mereka sepakat untuk mengikuti nasihat orang tua itu; dan orang pertama yang masuk Masjid adalah Muhammad, yang baru saja kembali ke Makkah setelah beberapa hari tak hadir.
“Ini al-Amin,” kata beberapa orang. “Kami menerima keputusannya,” kata yang lain, “Ini adalah Muhammad.”
BACA JUGA: Tunggu Dulu, Saya Belum Batal, tapi Saya Hendak Berwudhu Lagi
Muhammad bertanya, “Ada apa ini?”
Ketika mereka menjelaskan masalah itu kepada Nabi, Nabi melepaskan mantelnya, dan menghamparkannya ke tanah. Kemudian, Nabi memungut Batu Hitam, dan meletakkannya di tengah jubah.
“Sekarang pemimpin masing-masing keluarga memegang ujung jubah ini,” kata Muhammad, “lalu angkat, oleh kalian semua bersama-sama.”
Ketika mereka mengangkatnya, Muhammad mengambil batu itu dan meletakkannya dengan tangannya sendiri, dan Batu Hitam bisa kembali ke tempatnya dengan damai dan tenang. []
SUMBER: JALANSIRAH