TENTANG Nabi Ibrahim menasihati ayahnya, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surah Maryam (19) ayat 42-45:
اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔا (42) يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّ (43) يٰٓاَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطٰنَۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ عَصِيًّا (44) يٰٓاَبَتِ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطٰنِ وَلِيًّا (45)
(Ingatlah) ketika ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka Ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih sehingga engkau menjadi teman bagi setan.”
Azar, ayah Nabi Ibrahim, merupakan seseorang yang terhormat di tengah-tengah kaumnya. Ketika itu, seluruh penduduk negeri Babil—termasuk sang ayah—adalah penyembah berhala, kecuali Nabi Ibrahim. Namun, beliau tetap tegar menyampaikan kebenaran tauhid kepada mereka.
BACA JUGA: Keutamaan Istighfar-nya Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim tidaklah menyuruh ayahnya dengan namanya langsung, atau dengan panggilan yang kasar, melainkan dengan “yaa abati”, yang bermakna “wahai Ayahanda”. Ini adalah kata panggilan yang sangat halus, lembut, dan mengandung rasa hormat beliau yang tinggi kepada sang ayah.
Ath-Thahir Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwasannya di zaman Jahiliyah dahulu, seorang anak selalu rendah dalam pandangan orang tuanya, tidak peduli setinggi apa pun kecerdasan dan kepintaran si anak. Karenanya, Nabi Ibrahim berusaha mengalahkan tembok yang tinggi tersebut dengan panggilan yang lembut dan penuh rasa hormat agar sang ayah tak merasa dihinakan atau digurui sehingga mudah baginya untuk menerima nasihat yang akan ia sampaikan.
لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔا
Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?
Perhatikanlah ucapan di atas. Beliau tidaklah mengatakan “Kenapa engkau kufur?”, “Kenapa sih ayah malah menyembah mereka?” Ucapan Nabi Ibrahim di atas selain lembut dan tidak menyakitkan hati, ia juga secara halus mengundang ayahnya untuk berpikir dengan logikanya sendiri.
Perhatikanlah, bagaimana setan mampu menggelincirkan seseorang sampai menghiasi sesuatu yang tidak masuk akal menjadi sesuatu yang masuk akal dan meyakinkan. Bagaimana ia meyakinkan manusia untuk menyembah dan mengagungkan sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa berbuat apa pun. Maka, tidak heran jika ternyata ditemukan di antara mereka yang berdoa kepada kuburan, kepada Dewi Laut, kepada sapi, dan semacamnya, orang-orang terpelajar dan para akademisi.
BACA JUGA: Nabi Ibrahim dan Keyakinannya pada Janji Allah
Karena ayahnya tidak mampu menjawab, Nabi Ibrahim pun melanjutkan perkataannya,
يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّ
“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka Ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
Beliau tidak mengatakan, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau jahil, sedangkan aku memiliki ilmu”, atau ucapan yang mengandung unsur merendahkan lainnya. Seakan Ibrahim mengatakan kepada sang ayah,”Wahai Ayahanda, Anda mempunyai ilmu, namun Ananda telah mendapatkan ilmu yang tidak didapatkan oleh Ayahanda.”
Beliau tidak mengatakan langsung, “Kamu selama ini telah tersesat!”, tetapi beliau mengatakan, “Ikutilah aku, wahai Ayahanda, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
Beliau kemudian melanjutkan,
يٰٓاَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطٰنَۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ عَصِيًّا
“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Karena setan yang menghiasi segala kesyirikan tersebut, maka semua orang yang menyembah selain Allah dan berbuat kesyirikan, sejatinya mereka telah menyembah setan dengan menuruti seruan dan ajakannya.
Nabi Ibrahim hendak menyadarkan ayahnya karena imej setan itu buruk bagi semua orang, termasuk ayahnya. Beliau berharap dengan penjelasan ini, sang ayah akan tersadar bahwa sejatinya selama ini ia telah menyembah sesuatu yang jahat dan licik, yaitu setan.
اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ عَصِيًّا
“Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih,”
Nabi Ibrahim tidak sekadar menikmati setan dengan ‘aashiyan yang bermakna terkadang berbuat kemaksiatan dan kedurhakaan, akan tetapi beliau menyimpati setan dengan ‘asshiyyan yang bermakna benar-benar selalu membangkang/durhaka. Memang demikianlah sifat setan, ia selalu bermaksiat dan mendoakan Allah Ar-Rahman sepanjang hidupnya.
BACA JUGA: Nabi Ibrahim dan Ilmu Astronomi
Nabi Ibrahim juga memilih untuk menyebut Allah dengan Ar-Rahman, sebagai pengingat bagi sang ayah bahwa Allah sangat sayang kepada hamba-Nya, hanya saja setanlah yang selama ini menghalangi para hamba dari kasih sayang-Nya, dengan menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan dan kemaksiatan.
Kemudian Nabi Ibrahim melanjutkan,
يٰٓاَبَتِ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطٰنِ وَلِيًّا
“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih sehingga engkau menjadi teman bagi setan.”
Kekhawatiran ini jelas sekali menunjukkan kasih sayang beliau kepada sang ayah. Perhatikan pula bagaimana beliau mengungkapkan kekhawatirannya dengan “Aku khawatir engkau akan disentuh oleh siksa” bukan dengan “Aku khawatir engkau akan dihancurkan dan dibinasakan oleh siksa”. Beliau juga lagi-lagi menyebut Allah dengan Ar Rahman, Yang Maha Pengasih, sebagai motivasi bagi sang ayah untuk segera bertobat dan menerima agama tauhid yang ia bawa.[]
SUMBER: PUSAT STUDI QURAN