RASULULLAH SAW begitu sayang kepada umatnya. Sayangnya, pada saat ini umat Nabi seolah lupa dengan nasihat dan sunah yang telah diberikan agar kita selamat di dunia dan di akhirat kelak. Jika kita melihat kondisi sekarang, harta begitu menyilaukan banyak orang. Padahal Nabi sudah memperingatkan bahwa ujian terbesar umatnya adalah harta.
Harta dan kemewahan menjadi ‘target buruan’ banyak orang. Tak peduli ia seorang pekerja kasar, artis, hakim, bahkan pemimpin sekali pun banyak yang tergoda dengan silaunya harta sehingga melupakan tugas dan amanahnya demi mencapai kemegahan dan kesenangan duniawi.
BACA JUGA: Aku Takut Dipisahkan dengan Sahabatku Karena Hartaku yang Melimpah
Dalam sebuah riwayat dikisahkan rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah tiba di Madinah dengan membawa banyak harta dari Bahrain. Maka, penuhlah masjid untuk shalat subuh bersama Rasulullah SAW.
Usai shalat, Rasul bertanya, “Saya menduga kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah datang membawa sesuatu dari Bahrain.”
“Benar, wahai Rasulullah,” jawab jamaah serempak.
Rasulullah SAW pun bersabda, “Bergembiralah, namun renungkan apa yang menggembirakan kalian itu. Demi Allah, bukan kefakiranmu yang aku khawatirkan, melainkan bila kemewahan dunia telah menimpamu, sebagaimana orang-orang sebelummu. Lalu, kamu berlomba-lomba dan binasa, seperti mereka.” (HR Muslim).
Peringatan Rasulullah ini terlalu serius untuk diabaikan karena beliau mengawalinya dengan sumpah. Sejarah dan realitas kontemporer memang membuktikan kebenaran sabda beliau. Persia dan Romawi hancur. Bahkan, meski menerapkan sebagian hukum Islam, Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah juga runtuh lantaran para pembesarnya menjauhi kehidupan sederhana, hingga mudah ditelikung musuh.
Kemewahan pembesar adalah tanda kehancuran. Allah SWT berfirman, ”Bermegah-megahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS At Takaatsur: 1-2).
Di ayat lainnya, Allah SWT berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16).
Mafhum mukhalafah (makna kebalikan) ayat ini adalah hanya para pembesar yang berlaku zuhud dan sederhana, mengonsumsi sesuai kebutuhan, bukan kemauan (nafsu), yang akan menaati Allah, sekaligus memimpin rakyatnya ke arah Islam. Itulah negeri yang akan diselamatkan oleh Allah.
Kehancuran akibat perilaku mewah juga terjelaskan secara aqliyah (rasionalitas). Pertama, berlaku mewah menyebabkan pelakunya mudah dikendalikan oleh hawa nafsu. Gagal mengendalikan nafsu sendiri berarti gagal mengendalikan nafsu anak buah dan rakyat.
BACA JUGA: Imam Al-Ghazali: Gila Jabatan adalah Penyakit Hati
Kedua, berkuasanya nafsu akan melemahkan akal, sekaligus produktivitas manusia, mulai dari berpikir, bersikap hingga bertindak. Takkan ada keinginan untuk memperbaiki kehidupan negerinya, karena dirinya sibuk berlaku konsumtif. Padahal, perubahan selalu dimulai dari akal, sehingga ketika titik tolak itu lemah, maka melemah pula kekuatan untuk memperbaiki diri dan negeri. Ini mirip dengan susahnya memperbaiki orang yang akalnya rusak karena narkoba dan minuman keras.
Ketiga, terjadi persaingan tidak sehat, saling dengki, dan menjatuhkan karena iri terhadap orang lain yang lebih mampu bergaya mewah. Dan keempat, meluasnya korupsi, kolusi, dan pencurian harta negara dan rakyat. Bagaimanapun, gaya hidup mewah tidak mengenal batas, sementara penghasilan resmi dan halal pasti ada batasnya. Karena itulah maka pantaslah Rasulullah mengkhawatirkan kemewahan dunia, bukan kefakiran. Lantas mana yang kita khawatirkan? []
SUMBER: IKADI