RASULULLAH saw dengan tegas sudah melarang seseorang duduk di atas kuburan. “Sesungguhnya seorang dari kalian yang duduk ditas bara api lalu membakar pakaian hingga menyisakan kulitnya lebih baik baginya daripada duduk di atas sebuah kuburan,” (HR. Muslim)
Sabdanya saw yang lain,”Sesungguhnya aku berjalan di atas bara api atau pedang atau aku menambal sandal dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan di atas sebuah kuburan muslim.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh al Bushairiy dan sanadnya baik menurut al Albani)
Sabdanya saw yang lain,”Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah shalat menghadapnya.” (HR. Muslim)
Dari beberapa dalil di atas, para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Zhahiriy berpendapat bahwa hal itu adalah makruh. Sementara Nawawi di dalam “al Majmu” mengatakan,”Makruh duduk di atas kuburan, bersandar dengannya dan kami pernah menyebutkan bahwa hal itu adalah makruh menurut kami (madzhab Syafi’i), demikian pula menurut jumhur ulama.”
Para ulama madzhab Maliki dan sebagian Hanafi membolehkan hal itu, mereka menyatakan bahwa hadits-hadits di atas maknanya adalah duduk untuk buang hajat di atas kuburan.
Dan pendapat yang paling tepat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama bahwa hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang larangan dan tidak ada yang mengkhususkannya. (Markaz al Fatwa No. 64447)
Sementara berjalan di atas kuburan menurut para ulama Hanafi adalah makruh. Ibnu Abidin yang dinukil dari bank fatwa mengatakan,”Dari Abu Hanifah bahwa janganlah menginjak kuburan kecuali darurat.” Sebagian dari mereka mengatakan,”Tidak mengapa menginjak kuburan sementara dirinya membaca (al Qur’an) atau bertasbih atau berdoa bagi mereka.”
Sementara para ulama Maliki berpendapat bahwa kuburan adalah tempat haram maka tidak seharusnya berjalan di atasnya jika ia berupa gundukan dan terdapat jalan selainnya. Adapun jika kuburan itu terhapus (rata) maka terdapat kebebasan.
Pemilik kitab “at Tahdzib” dari kalangan Syafi’i mengatakan bahwa tidaklah mengapa berjalan dengan menggunakan sandal diantara kuburan-kuburan. Mereka mengatakan bahwa pernyataan kuburan adalah tempat haram adalah penghargaan untuk si mayit karena itu makruh—menurut pendapat mereka yang masyhur—duduk di atasnya, bersandar dengannya, menginjaknya kecuali adanya kebutuhan seperti tidak bisa sampai ke suatu kuburan mayat kecuali dengan menginjaknya.
Imam Nawawi mengatakan,”Hal itu—berjalan di atas kuburan—diharamkan berdasarkan lahiriyah hadits,’ ,”Sesungguhnya seorang dari kalian yang duduk ditas bara api lalu membakar pakaian hingga menyisakan kulitnya lebih baik baginya daripada duduk di atas sebuah kuburan.” (HR. Muslim)
Para ulama Hambali mengatakan bahwa makruh menginjak kuburan dan berjalan diantarnya dengan menggunakan sandal berdasarkan hadits,”walau dengan menggunakan tamasyyuk (sejenis sandal).” Mereka mengatakan,”Tidaklah makruh berjalan diantaranya dengan menggunakan terompah yang sulit dilepasnya karena ia bukanlah sandal. Disunnahkan melepas sandal jika memasuki pemakaman berdasarkan hadits Basyir bin al Khashashiyah berkata,”Ketika aku berjalan menemani Rasulullah saw ada seorang laki-laki yang berjalan di kuburan dengan menggunakan dua sandal. Lalu beliau saw berkata,’Wahai pemilik dua sandal, celaka kamu lepaskan kedua sandalmu.’
Lalu lelaki itu pun menoleh dan tatkala dia mengetahui Rasulullah saw maka dia pun melepaskan dan menjauhkan kedua sandalnya.” Sebagai sebuah penghormatan bagi jenazah kaum muslimin kecuali jika dirinya khawatir adanya najis, duri, buminya panas atau dingin maka hal itu tidaklah makruh—yaitu berjalan dengan menggunakan sandal diantara kuburan—dikarenakan adanya uzur. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 13929 – 13930)
Dengan demikian makruh bagi seseorang melintasi atau berjalan di atas kuburan seorang muslim kecuali darurat atau tidak ada jalan selainnya demi menghormati mayat yang ada di dalamnya, sebagaimana pendapat Syafi’i. []