MASIH ingat dengan kisah Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil ketika bayi? Qodarullah, takdir mengantarkannya ditemukan oleh istri Fir’aun, Siti Asiyah yang merawatnya. Padahal kala itu, Fir’aun membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir di wilayahnya.
Bayi musa tumbuh dewasa di istana fir’aun, hingga suatu waktu ketika dia beranjak dewasa ia membunuh laki-laki mesir (dari golongan fir’aun) yang berkelahi dengan golongannya (bani israil) secara tidak sengaja. Setelah peristiwa pembunuhan tersebut tersiarlah gelagat tidak baik dari pihak istana yang mempunyai niat buruk kepada Musa hingga akhirnya dia keluar dari mesir untuk menyelamatkan diri.
Dari sinilah awal kisah cinta nabi Musa AS, perjalanan panjangnya dari kota mesir (dengan bimbingan Allah tentunya) membawa jejak langkahnya kesebuah negeri, Madyan namanya. Di sini ia membantu dua orang anak gadis yang sedang berdesak-desakan mengambil air untuk gembalaannya. Yang ternyata kedua anak gadis tersebut adalah putri dari nabi Syuaib AS.
BACA JUGA: Nabi Musa di Perjalanan dan Perantauan
Kebaikan nabi Musa AS membuat ayah dari kedua gadis tersebut tertarik untuk mengenal nabi Musa AS lebih dekat.
“Wahai ayahku, berilah dia upah. Sesungguhnya engkau akan memberikan upah kepada seorang yang kuat dan jujur,” ujar putri Nabi Syuaib.
Nabi Syuaib bertanya kepada putrinya, “Bagaimana engkau mengetahui dia seorang lelaki yang kuat?”
Anak gadisnya menjawab, “Saya lihat sendiri ia mengangkat batu yang tidak mampu diangkat oleh sepuluh orang lelaki.”
Nabi Syuaib bertanya lagi, “Bagaimana engkau mengetahui bahwa dia seorang yang jujur?”
Putrinya menjawab, “Ia menolak untuk berjalan di belakangku dan ia berjalan di depanku sehingga ia tidak melihatku saat aku berjalan. Dan selama perjalanan saat aku berbincang-bincang dengannya, dia selalu menundukkan matanya ke tanah sebagai rasa malu dan adab yang baik darinya.”
BACA JUGA: Nabi Musa kepada Batu di Sungai: Kembalikan Bajuku!
Kemudian Nabi Syuaib memandangi Nabi Musa dan berkata kepadanya, “Wahai Musa, aku ingin menikahkanmu dengan salah satu putriku. Dengan syarat, hendaklah engkau bekerja menggembala kambing bersamaku selama delapan tahun. Seandainya engkau menyempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah kemurahan darimu. Aku tidak ingin menyusahkanmu, sungguh insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang saleh.”
Nabi Musa kemudian berkata, “Ini adalah kesepakatan antara aku dan engkau dan Allah SWT sebagai saksi atas kesepakatan kita, baik aku akan melaksanakan pekerjaan selama delapan tahun maupun sepuluh tahun. Setelah itu, aku bebas untuk pergi ke mana saja.”
Akhirnya menikahlah Nabi Musa AS dengan putri Nabi Syuaib AS. []
SUMBER: ARRAHMAN