DIA adalah salah seorang wanita ahli ibadah yang zuhud dan tunduk kepada Allah. Juga menjadi pelita yang menerangi jalan para penempuh yang dilanda bingung, sekaligus panutan bagi orang yang bertakwa dan beriman.
Di Makkah al-Mukarramah, lahirlah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Itulah hari yang berbahagia sesudah berlalunya waktu 150 tahun hijriah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, yakni pada tahun 145 H.
Nafisah hidup bersama cucu-cucu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dia hafal Al-Quran Al-Karim, lantas memahami ayat-ayat dan kalimatnya. Di samping itu, dia juga menghafal banyak hadits kakeknya, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.
BACA UGA: Ilmu Bisa Datangkan Keberkahan dan Kesengsaraan, Kok Bisa?
Nafisah mengamati dunia. Dia mendapatinya fana dan akan lenyap. Lantas berapaling seraya memohon ampunan kepada-Nya, menggunakan amalan sebagai wasilah untuk mendekat kepada-Nya. Ketika beranjak dewasa, saudara sepupunya, yakni Ishaq al-Mu’taman bin Imam Ja’far ash-Shadiq, memberanikan diri untuk meminangnya. Nafisah pun menerima lelaki shalih itu sebagai suaminya.
Di Madinah, hidupnya aman dan tenteram. Dia membuka rumah untuk penuntut ilmu, sampai mereka memanggilnya dengan nama “Nafisah, Ilmu dan Pengetahuan”.
Pada tahun 193 Hijriah, Sayidah Nafisah beranjak ke Mesir bersama suaminya. Orang-orang menyambutnya dengan hangat. Nafisah berkata, “Barangsiapa istiqamah bersama Allah maka alam raya ini berada di tangannya dan tunduk kepadanya.”
BACA JUGA: Amal Terjaga dengan Ilmu
Kemudian lanjutnya, “Tiada penghalang di jalan kebahagiaan, siapa saja yang mau menempuhnya niscaya dia akan sampai ke sana.”
Dia pun senantiasa berziarah ke Baitullah al-Haram. Menunaikan haji sebanyak 30 kali. Guna membersihkan diri dari dosa serta memperbaharui ketaatan kepada Allah. Semoga Allah ridhainya, dan dia takkan beristirahat sampai tindak penganiayaan terhadap orang itu dihentikan.
Tatkala ada seorang pengusaha yang dikudeta secara zalim, meminta perlindungan padanya. Sampai akhirnya orang itu menjadi penguasa dan kuat. Sebagai imbalannya, Nafisah diberi hadiah 100 ribu dirham. Namun, dia hanya mengambil sedikit dari uang itu untuk persedian makan bagi dirinya selama satu hari saja. Masya Allah.
Lalu, datanglah Ahmad bin Thulun hendak menimpakan kezaliman. Dan orang-orang meminta tolong pada Nafisah untuk melenyapkan kezaliman tersebut. Kisah ini terdapat dalam Qur’an Surah Asy-Syu’ara: 227, “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
Sesudah bermukim di Mesir selama tujuh tahun itu, Nafisah didera penyakit. Dan merasa bahwa akhir hidupnya telah dekat, sehingga dia pun mengirim surat kepada suaminya, Ishaq al-Mu’taman, yang berisakan permintaan untuk menjenguknya.
BACA JUGA: 5 Hal Pokok Ini Meliputi Semua Ilmu
Di halaman rumahnya, dia menggali kuburannya dengan tangannya sendiri. Terkadang turun ke liang itu untuk mengerjakan shalat sekian banyak rakaat di sana. Sampai suatu ketika dia pernah membaca mushaf Al-Quran sebanyak 190 kali sembari menangis tersedu-sedu.
Nafisah pun berpisah dengan hidupnya. Ruhnya melayang menuju hadapan Allah. Penduduk Mesir menangisinya dengan duka cita yang sangat dalam. Semoga Allah menyayanginya. Beginilah seharusnya kehidupan itu. Dia adalah salah seorang wanita ahli ibadah, zuhud, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Juga mengorbankan dirinya di jalan Allah. []
Sumber: Keistimewaan 62 Muslimah Pilihan/ Ali bin Nayif asy-Syuhud/ Ar-Rijal Publishing: Surakarta.