Oleh: Newisha Alifa
newishaalifa@gmail.com
PERTAMAÂ kali nekat ikut lomba debat bahasa Inggris antar kelas SMK waktu agustusan, temanya adalah EDUCATION IS VERY IMPORTANT IN INDONESIA. Posisi saat itu itu cuma jadi pendamping doang, untuk melengkapi syarat tim yang harus tiga orang. Sementara main speaker-nya ya seorang teman, yang udah cas cis cus dalam berbahasa bule. Dia udah makan bangku kursus, lah saya mah ngomong ISLAND aja beneran ‘islen’ bukan ‘ailend’.
Kalo dipikir-pikir sekarang, pendidikan mah bukan cuma penting di Indonesia aja, tapi dalam kehidupan seluruh manusia. Cuma, menurut saya 12 tahun lalu, itu tema kayaknya udah keren and smart abisss.
Dalam lomba atau kompetisi debat, pasti ada tim yang pro dan kontra (negatif atau positif). Kagak bisa kita milih di posisi netral.
Kalo statement atau tema yang diberikan itu emang kontroversial kaya; poligami, ibu rumah tangga atau bekerja, atau perkara rokok misalnya, mungkin bakal imbang ketika hasil kocokan keluarnya kita di kubu pro atau kontra. Tapi kalau tema yang akan didebatkan, benar dan salahnya udah kentara banget … Beuh, di sini tantangannya. Belajar jadi pengacara dah kita.
#
Kadang beda kita itu cuma masalah sudut pandang aja. Dikarenakan latar belakang kita dari berbagai sisi juga nggak sama. Jadi kenapa sih mesti saling memaksa?
Ketika ada penyataan, PENDIDIKAN ITU ADALAH SESUATU YANG SANGAT PENTING DALAM KEHIDUPAN SESEORANG.
Ya hasilnya bakal beda-beda.
Bagi mereka yang sangat menjunjung tinggi tingkat pendidikan seseorang, pasti bakalan pro abis-abisan dengan segala argumentasinya. Bisa mati kutu kalo dia dapet kocokan KONTRA sama pernyataan di atas, sementara jiwanya sendiri udah pro binggo!
Sementara bagi mereka yang ngerasa tetap bisa bolak-balik ke Mekkah buat umroh bahkan naik haji lebih dari sekali kayak Haji Muhidin. Atau merasa nggak pernah mengalami kesulitan hidup—yang berarti—meski cuma lulusan Sekolah Rakyat di zaman kumpeni. So what gitu loch nggak punya gelar? Secara tanpa gelar aja, kontrakan kakek buyutnya udah berjejer panjang seribu pintu. Atau usaha kuliner mertuanya yang udah buka cabang di mana-mana. Malah yang sarjana digaji sama yang kagak kuliah? Berarti dengan latar belakang nasib ini, mereka akan kontra dengan statement di atas. Dan mungkin akan gelagapan ketika pas kompetisi debat, dapet kocokannya disuruh pro sama pernyataan tersebut. INI MISAL DOANG.
Udah kebayang belum sih? Poin dari tulisan ini apa? Nggak jarang kita ribut cuma karena belum ketemu di titik yang sama untuk memandang suatu masalah aja. Dan parahnya, kita anti banget untuk berusaha memposisikan diri sebagai orang lain. Gak mau berusaha memahami apa yang orang lain pikirkan. Kalau kita merasa tetap nggak sepaham, yaudah sih tinggalin aja. Ngapain masih di situ buat memaksakan pendapat kita yang kontra? Apa gunanya?
#
Beda kita itu kadang hanya masalah lo udah tahu, dan gue belum tahu. Lo udah yakin dan gue masih ragu-ragu. Lo udah mau taat, dan gue masih belum mau buat itu.
Atau sebaliknya …
Seiring berjalannya waktu, jika orang tersebut dalam hidupnya memang mau jadi orang benar dan baik, In Syaa Allah dia akan tiba di satu titik yang membuatnya melihat sesuatu dengan sudut pandang yang benar menurut Allah. Bukan menurut manusia.
Dulu, ada seorang teman yang mencak-mencak nggak jelas karena seorang teman yang aktivis rohis di kampus, kalau posting seringnya tentang agama. Atau update-annya bawa-bawa ayat Al-Qur’an dan hadist. Entahlah, kenapa jadi dia yang kebakaran?
Dan ketika ilmu, pengetahuan atau lebih tepatnya mungkin hidayah sudah sampai padanya, dia juga jadi sering update religi gitu. Nggak tahu deh, inget apa nggak dulu pernah nyinyirin orang ketika melakukan apa yang dia lakukan sekarang?
Ehem, bukankah sebelum hidayah datang, sahabat Umar bin Khattab RA, juga buenciii banget sama Rasulullah SAW dan Islam?
Pernah denger juga nggak? Cerita tentang sahabat Abu Bakar RA dan sahabat Umar bin Khattab RA berbeda dalam pelaksanaan sholat malam? Abu Bakar karena terlalu hati-hatinya, kuatir nggak bisa bangun lagi setelah tidur, maka beliau pun memilih sholat dulu baru tidur. Tapi Umar, karena merasa yakin dan lebih kuat—melawan kantuk mungkin—memilih untuk tidur dulu, baru terbangun untuk melaksanakan qiyamullail. Dan Rasulullah SAW tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Jadi kalau hari ini, ada hal-hal atau topik-topik yang sebenarnya belum mutlak-mutlak banget halal haramnya, boleh nggaknya, jangan terlalu mokso atau lebaylah membela atau justru membencinya. Yang sedang-sedang saja.
Statemen di atas cuma satu contoh. Kalau mau dijabarin, buanyaaak sekali tema atau topik yang berpotensi bikin orang jadi berselisih paham. Bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk menunjukkan siapa yang paling hebat dalam berdebat sebenarnya?
Takarannya apa? Lihat saja caranya dalam menyikapi perbedaan pendapat. Kalau udah dua tiga kali tiktok sama lawan debatnya, nggak ada titik temu … apa dia masih ngoyo, atau justru memilih menyudahi perdebatannya?
Jadi, masih mau buang waktu untuk ngedebatin sesuatu yang lebih berpotensi bikin hubungan pertemanan atau persaudaraan retak, ketimbang melakukan hal lain yang lebih positif dan menghasilkan? []