USAI ngaji fiqih bab Najasah di rumah kiai kampung, Otong pulang dengan menundukan kepala karena merasa risih dengan beberapa pasangan muda-mudi yang nongkrong di pinggir jalan.
Tiba-tiba ada suara, “Guk..guk… Kaing.. kaing… kaing…” Seekor anjing tergeletak di tengah jalan, tertabrak sepeda motor sepasang muda-mudi yang melintas kencang dan meninggalkan anjing itu begitu saja.
“Anjing itu kan najis, ah sudahlah biarkan saja,” begitu pikiran Otong meninggalkan anjing yang sudah sekarat.
Ia pun melanjutkan langkahnya untuk pulang. Namun hatinya masih bimbang. Tiba-tiba Otong teringat cerita kiainya bahwa ada seorang pelacur yang masuk surga lantaran memberi minum anjing.
Otong langsung menghampiri anjing yang masih tergeletak di tengah jalan dalam keadaan sudah mati. Ia segera membawanya dan mencari tempat yang aman untuk menguburnya.
“Eh, Mas santri. Kok nenteng-nenteng anjing sih, anjing itu kan najis?” tanya sepasang kekasih yang bukan mahramnya sambil bergandengan tangan.
Otong pun menjawab, “Iya, Mas. Ini anjingnya mati tadi tertabrak motor. Mau saya kubur.”
“Kok dipegang pegang gitu ga pake plastik atau sarung tangan?” sahut cewek tongkrongan yang dipegang tangannya.
“Tidak apa-apa, Mbak. Cuma najis, ga dosa kok. Nanti juga bisa disucikan,” jelas Otong. “Mas, Mbak. Maaf ya. Saya kasih tahu. Ini anjing mati tertabrak motor. Jika semua orang membiarkannya atas dasar najis dan tidak mau menyingkirkannya. Nanti anjing ini bakalan membusuk di tengah jalan dan akan lebih mengganggu orang yang lewat. Makanya saya mengambilnya dan hendak menguburkannya dengan alasan darurat. Lebih baik memegang najis daripada memegang tangan yang bukan mahramnya. Itu haram hukumnya.”
Mendengar penjelasan Otong, pasangan tongkrongan itu diam membisu dan langsung melepas tangan. []
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/66435/najis-versus-haram