SALAH satu peristiwa yang paling luar biasa dan penting dari sejarah Islam baru-baru ini adalah Konflik Arab Israel. Konflik ini sangat kompleks, dan merupakan salah satu insiden paling bermasalah di dunia dalam hubungan internasional.
Salah satu aspek dari konflik ini adalah masalah pengungsi yang dimulai pada tahun 1948, dengan lahirnya Negara Israel. Lebih dari 700 ribu warga Palestina menjadi pengungsi tahun itu, kemudian dikenal sebagai “Nakba”, yang dalam bahasa Arab berarti bencana.
Latar Belakang
Pada tahun 1800, sebuah gerakan nasionalis yang baru lahir di Eropa. Zionisme adalah gerakan politik yang menganjurkan pembentukan negara Yahudi. Banyak orang Yahudi percaya bahwa memiliki negara mereka sendiri, sangat diperlukan dalam menghadapi diskriminasi dan penindasan oleh orang Eropa yang terjadi selama berabad-abad.
Setelah mereka berdebat mengenai lokasi di mana negara baru itu akan diciptakan melalui Kongres Zionis Pertama pada tahun 1897, gerakan Zionis memutuskan untuk menciptakan negara mereka di Palestina, yang merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman. Sultan Ottoman, Abdulhamid II, menolak rencana itu, termasuk menapikan pembayaran 150 juta pound dari Inggris yang diusulkan oleh Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionis, dalam pertukaran untuk kepemilikan wilayah Palestina.
Pintu terbuka untuk Zionisme, pasca Perang Dunia Pertama. Selama perang, Inggris menaklukkan Palestina dari Ottoman pada tahun 1917. Di sekitar waktu yang sama, menteri luar negeri Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan deklarasi untuk gerakan Zionis menjanjikan dukungan Inggris bagi pembentukan sebuah negara Yahudi di Palestina.
baca juga: 2017, Tahun bagi Masa Depan Palestina?
Setelah perang, Palestina menjadi mandat Liga Bangsa-bangsa di bawah kendali Inggris pada tahun 1920. Sejak itu di bawah kontrol Inggris, gerakan Zionis menganjurkan emigrasi Yahudi Eropa ke Palestina. Hasilnya adalah kenaikan eksponensial dalam jumlah orang Yahudi yang tinggal di Palestina. Menurut data sensus Inggris, pada tahun 1922, ada 83.790 orang Yahudi di Palestina. Tahun 1931, meningkat 175.138. Dan pada tahun 1945, jumlah itu melonjak menjadi 553.600 orang. Dalam 25 tahun, 11% orang-orang Yahudi telah pergi ke Palestina dari jumlah total populasi 31%.
Orang-orang Arab Palestina tidak antusias menyambut kedatangan Yahudi. Ketegangan antara pemukim baru Yahudi dan warga asli Palestina meletus pada berbagai kesempatan. Akhirnya, Inggris memutuskan pada tahun 1940-an bahwa mereka tidak lagi dapat mengontrol wilayah tersebut, dan memutuskan untuk mengakhiri mandat Palestina dan meninggalkan negara itu.
Rencana Liga Bangsa-Bangsa dan Kemerdekaan Israel
Melihat berakhirnya kontrol Inggris terhadap Palestina, dan terjadinya konflik yang tak terhindarkan antara orang Arab dan Yahudi, PBB yang baru dibentuk mengangkat masalah itu pada tahun 1947. Hal itu datang dengan rencana yang dikenal sebagai Rencana Pembagian PBB (UN Partition Plan) untuk Palestina. Di dalamnya, mereka menganjurkan pembentukan dua negara yang secara historis dikenal sebagai Palestina. Satu untuk orang Yahudi, yang dikenal sebagai Israel, dan satu untuk orang Arab, Palestina.
Sementara orang-orang Yahudi di Palestina menerima rencana dengan antusias, orang-orang Arab dengan keras menolak itu. Dalam pandangan mereka, pembagian itu mengambil tanah yang telah menjadi tanah Arab peninggalan sejarah Muslim sejak Perang Salib dan memberikannya kepada minoritas Yahudi baru di negara itu. Ketegangan terus meningkat antara kedua belah pihak.
Di tengah ketegangan meningkat ini, Inggris menyatakan mengakhiri Mandat Palestina, dan menarik diri dari negara itu pada 14 Mei 1948. Hari itu, gerakan Zionis di Palestina menyatakan pembentukan sebuah negara baru, Israel. Hari berikutnya, negara-negara Arab tetangga menyatakan penolakan mereka terhadap deklarasi dan menyerang Israel.
Hasil perang 1948 adalah peningkatan besar dalam ukuran wilayah teritori Israel. Negara yang dilahirkan jauh lebih besar wilayahnya dari negara yang diusulkan oleh PBB, mencakup sekitar 50% dari negara Arab yang diusulkan.
Pengusiran Palestina
Dampak kemanusiaan terbesar dari perang 1948 adalah pengusiran mayoritas penduduk Palestina. Dalam batas-batas Negara baru Israel, sebelum perang ada sekitar 1 juta orang Arab Palestina. Pada akhir perang di tahun 1949, sekitar 700 ribu hingga 750 ribu warga Palestina telah diusir. Hanya 150 ribu yang tetap bertahan di Israel.
Pengungsi merupakan efek samping dari perang. Sepanjang sejarah, sekelompok orang selalu melarikan diri untuk menghindari pertempuran dan penaklukan. Apa yang membuat para pengungsi Palestina tahun 1948 menjadi unik, adalah mengapa mereka menjadi pengungsi. Karena hingga saat ini, masih sangat banyak konflik yang terjadi, banyak sejarawan menganalisis penyebab eksodus Palestina dipengaruhi oleh politik dan hubungan internasional. Sejarawan (termasuk beberapa sejarawan Israel) menetapkan beberapa alasan utama untuk Eksodus:
Takut: Banyak warga Palestina meninggalkan karena karena takut serangan Israel dan kekejaman. Ketakutan ini beralasan. Pada tanggal 9 April 1948, sekitar 120 pejuang Israel memasuki kota Palestina Deir Yassin, dekat Yerusalem. 600 penduduk desa tewas. Beberapa meninggal ketika membela kota dalam pertempuran melawan pasukan Israel, sementara yang lain dibunuh oleh granat tangan yang dilemparkan ke rumah mereka, atau dieksekusi setelah diarak melalui jalan-jalan Yerusalem.
Tentu, setelah kata dari pembantaian ini tersebar di seluruh Palestina, Palestina takut terjadi hal yang terburuk dari Israel. Dalam banyak kasus, seluruh warga desa Palestina melarikan diri dari invasi Israel, berharap untuk menghindari nasib yang sama seperti Deir Yassin. Beberapa kelompok Israel, seperti Yishuv, mempercepat proses pengungsian itu melalui perang psikologis yang dimaksudkan untuk mengintimidasi kota-kota Palestina agar menyerah atau melarikan diri. Siaran radio yang disiarkan dalam bahasa Arab, memperingatkan warga Arab bahwa mereka tidak bisa menahan kemajuan invasi Israel, dan perlawanan adalah sia-sia.
Pengusiran oleh Angkatan Israel: Sementara ketakutan adalah faktor pendorong utama untuk mengungsi di awal perang, seperti perang yang terjadi berlarut-larut pada tahun 1948, pengusiran oleh Israel semakin di sengaja dan menjadi lebih umum. Setiap orang-orang Israel menaklukkan wilayah yang lebih dan lebih, kekuatan mereka menjadi tersebar secara merata di seluruh negeri. Dalam rangka untuk mempertahankan kontrol atas wilayah ini, banyak desa baru ditaklukkan secara paksa dan dikosongkan oleh pasukan Israel.
Contoh penting dari ini adalah kota-kota Lida dan Ramla, dekat Yerusalem. Ketika mereka ditaklukkan pada bulan Juli 1948, Yitzhak Rabin menandatangani sebuah perintah pengusiran semua warga Palestina dari dua kota, sebesar antara 50 ribu dan 70 ribu orang. Pasukan Israel memaksa beberapa dari mereka ke garis depan wilayah Arab, sementara yang lain terpaksa berjalan, hanya diizinkan untuk mengambil harta mereka sebatas apa yang bisa mereka bawa. Pengusiran ini saja menyumbang sekitar 10% dari total pengusiran Palestina pada tahun 1948.
Dorongan oleh Pasukan Arab: Dalam beberapa kasus, tentara Arab dari negara-negara tetangga, khususnya Yordania, mendorong warga di kota-kota Palestina untuk mengungsi. Salah satu alasannya, agar tidak tercipta medan perang terbuka yang melibatkan warga sipil dalam baku tembak. Dalam setiap kasus, banyak warga sipil Palestina meninggalkan rumah mereka di bawah arahan dari tentara Arab, berharap untuk kembali segera setelah kemenangan Arab, hanya untuk menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.
Pasca Perang
Perang Arab Israel 1948 menciptakan masalah pengungsi skala besar di Timur Tengah. Lebih dari 500 kota-kota di seluruh Palestina ditinggalkan penghuninya selama ini. 700 ribu pengungsi dari kota-kota tersebut menjadi beban ekonomi dan sosial di negara-negara tetangga dan Tepi Barat, tanah Palestina di bawah kekuasaan Yordania. Pada tahun 1954, Israel melangkahi hukum pencegahan infiltrasi. Hal ini memungkinkan pemerintah Israel untuk mengusir setiap orang Palestina yang berhasil menyelinap kembali ke rumah mereka. Hal ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengusir setiap pengungsi yang merupakan warga Palestina yang masih menetap di dalam Israel, jika mereka berusaha untuk kembali ke rumah mereka.
Hari ini, hak warga Palestina untuk kembali ke negeri mereka masih merupakan masalah utama yang belum diselesaikan. Pengusiran paksa warga Palestina pada tahun 1948 terbukti menjadi masalah yang belum terpecahkan, bahkan setelah para pengungsi asli hidup di abad 21. []
*Sumber: Lost Islamic History.