MENASABKAN anak kepada ayahnya adalah kewajiban yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Sesuai firman-Nya: “Panggillah mereka (anak-anak angkatmu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.” (QS. Al Ahzab: 5)
Menasabkan Anak pada Masa Rasulullah
Dahulu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki budak bernama Zaid bin Haritsah radhiyallahu anhu, lalu dimerdekakan, dan diangkat menjadi anak (yaitu anak angkat), dan manusia memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad lalu turunlah ayat di atas.
Imam al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata:
“Dahulu kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah melainkan dengan Zaid bin Muhammad, sampai Allah azza wa jalla turunkan ayat: Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah.”
Ayat ini berbicara tentang anak angkat di mana kita wajib memanggil dan menasabkan mereka dengan ayah kandungnya sendiri.
BACA JUGA:Â Telusuri Nasab lewat Tes DNA, Bagaimana Menurut Pandangan Islam?
Maka, apalagi dengan anak kandung sendiri tentu lebih wajib menasabkan kepada ayahnya sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan mencela orang yang mengingkari atau tidak mengakui nasab anaknya sendiri.
Atau sebaliknya mengklaim anak orang lain sebagai anak kandungnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Kufur hukumnya orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau masih samar.
Menurut Imam al Munawi Rahimahullah (w.1031 H), kufur di sini bukanlah kekafiran yang membuatnya kekal di neraka, tapi ini bermakna dusta atas nama Allah azza wa jalla, dia mengaku-ngaku Allah azza wa jalla telah menciptakan dirinya dari air maninya si fulan padahal kenyataannya tidak demikian.
Kecaman ini hanya berlaku bagi yang benar-benar bermaksud mengubah nasab baik mengklaim sebuah nasab yang bukan nasabnya atau mengingkari nasab yang sebenarnya nasabnya sendiri.
Ada pun jika penyandaran ‘bin’ kepada bukan ayahnya hanya sebagai ta’rif (pengenalan identitas), itu tidak apa-apa dan bukan masalah. Ada sahabat nabi bernama Al Miqdad bin Al Aswad radhiyallahu anhu, padahal ayahnya bukan Al Aswad.
Namun, dengan nama itulah dia dikenal dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun tidak mengingkari nama tersebut.
Panggilan untuk Perempuan yang Sudah Menikah
Imam Ibnu Baththal Rahimahullah (w.449 H) mengatakan sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar Rahimahullah (w.852 H):
Maksud hadits ini hanyalah tentang orang yang mengubah nasab dirinya pada ayahnya kepada selain ayahnya, dan dia tahu, sengaja, dan atas pilihannya sendiri.
Pada zaman jahiliyah, mereka tidak mengingkari seseorang yang mem-bin-kan anak orang lain.
Beliau melanjutkan: “Maka, sebutan nama seperti itu dengan maksud identitas bukan maksud nasab yang hakiki, seperti Al Miqdad bin Al Aswad, padahal ayahnya bukan Al Aswad, nama ayahnya adalah Umar bin Tsa’labah.”
Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama belakang istri dengan nama suaminya, tentu, hal itu terlarang dimaksudkan mengubah nasab.
Misal, seorang wanita bernama Fatimah, menikah dengan Ali, maka di masyarakat ia akan dipanggil Fatimah Ali.
Jika panggilan itu bermaksud identitas saja, bukan perubahan nasab maka itu tidak apa-apa, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Baththal.
Tapi jika dimaksudkan adalah perubahan nasab, maka itu keliru, tidak dibenarkan. Atau jika maksudnya adalah sekadar identitas al ‘ilaqah az zaujiyah (relasi pernikahan) semata-mata di antara keduanya maka tidak apa-apa.
BACA JUGA:Â Istri Memakai Nama Suami, Bagaimana Hukumnya?
Dalam Al-Qur’an, istrinya Imran disebut dengan Imra’atu Imran (istrinya Imran), juga Imra’atu al Aziz (istrinya Aziz).
Artinya, nama suami digandengkan setelah nama istri, sebagai hubungan pernikahan mereka. Kalau di Indonesia, biasanya disebut dengan Bu Imran atau Bu Aziz. Ini tidak masalah, ini bukan kaitan nasab.
Hanya saja, identitas seperti ini tidaklah kuat, yang lebih kuat adalah disandarkan kepada ayah si istri. Sebab, ayahnya tidak pernah berubah, tidak ada mantan ayah, selamanya ia disandarkan ke ayahnya.
Beda dengan suami, jika suaminya wafat, lalu istri nikah lagi dengan suami baru, ini akan jadi masalah.
Maka lebih utama, dan tepat jika tetap disandarkan dengan nama ayahnya walau sandaran nama suami tidak bermaksud nasab. Tentunya, hal yang lebih utama yang kita pilih.
Wallahua’lam. []
Sumber: Fiqih Praktis Pendidikan Anak. Ustaz Farid Nu’man Hasan. Penerbit: Inspirasi Cendikia: 2021 | ChanelMuslim