HARI itu di sebuah klinik, kami menunggu antrean. Di depan kami sepasang suami istri sedang memeriksakan anaknya yang berusia 3 tahun. Sang dokter bertanya, “Sakit apa anaknya, Bu?”
“Mencret, dok,” sang ibu menjawab.
“Sudah berapa kali mencretnya?” kembali dokter bertanya.
“Saya gak tau dok, yang ngurus pembantu,” tukas sang ibu.
“Ibu ini gimana, Ibu harus tau, nanti diambil lagi sama Tuhan gimana, Bu?” sang dokter yang seorang Nasrani itu terus memarahi ibu dari pasien yang diperiksanya. Ibu dan ayah pasien dokter tersebut hanya diam tertunduk malu.
Mungkin bagi beberapa wanita lebih rela menitipkan anaknya dididik dan dibesarkan oleh orang lain, dalam hal ini pembantu atau babysitter daripada harus melepas kariernya. Atau malah bisa jadi saat ini terjadi tren baru. Bahwa jika sebuah keluarga memilik pembantu gensinya lebih tinggi.
Yang membuat saya tertegun malu pada diri sendiri sebagai sesama muslimah tentu saja, karena ibu pasien yang dimarahi dokter di atas adalah seorang muslimah.
Menurut aturan Islam, tugas dan kewajiban mendidik anak adalah tugas kedua orangtua. Bukan tugas pembantu, baby sitter, paman, bibi bahkan bukan pula tanggung jawab nenek dan kakek.
Suatu hari seorang nenek bercerita. Anaknya harus pergi bekerja. Sang nenek berkata, “Pergilah bekerja, biar anakmu Ibu yang menjaga.”
“Iya, Bu, terima kasih, saya pergi dulu,” tutur putrinya.
Namun ternyata Allah menyayangi keluarga mereka. “Allah menegur saya sebagai nenek. Tiba-tiba 2 jam kemudian cucu saya panas, padahal tadinya waktu ditinggal ibunya pergi dia baik-baik saja. Allah berkata secara tidak langsung, berani-beraninya kamu mengambil tanggung jawab orangtua anak ini,” tutur sang nenek. “Lalu saya pun menelpon putri saya agar segera pulang. Sejak saat itu saya tidak berani dititipi cucu lagi. Akhirnya putri saya memutuskan berhenti bekerja demi membesarkan dan mendidik anak-anaknya.”
Bagaimana generasi muslim mendatang menghadapi tantangan zaman yang kian berat, Jika mereka tidak didik oleh kedua orangtua dengan aqidah yang kuat? Bayangkan, lulusan mana pembantu rumah tangga yang biasa bekerja pada keluarga-keluarga kaya? Yang tentu saja suami istri yang memiliki penghasilan tinggi juga memiliki pendidikan tinggi. Tak akan jadi permasalahan jika pendidikan pembantu lebih tinggi daripada majikan misalnya lulusan pascasarjana.
Mudah bagi pembantu menerima ilmu bagaimana cara mendidik anak yang benar lalu memberikan pengetahuan yang benar pada anak-anak majikan. Hal ini amatlah tidak mungkin. Karena pendidikan pembantu saat ini amatlah rendah, bahkan ada yang tidak lulus sekolah. Asal bisa mengerjakan pekerjaan rumah, memandikan, menyuapi, mengganti popok, punya keahlian pas-pasan, bisa langsung bekerja.
Maka, masih maukah Anda membiarkan putra-putri Anda diasuh, dirawat, dibesarkan bahkan dididik oleh orang yang pendidikan, latar belakang keluarga, pemahaman keberagamaan jauh lebih rendah daripada kita orangtuanya? Ataukah mungkin nanti “Tuhan” yang akan mengambilnya lagi? []