Oleh: Ibnu Sayuti
Penulis tinggal di Pekalongan
ADA yang menarik bagi para peraih cita-cita tinggi, di mana momen-momen ‘menjelang putus asa’ hampir terjadi di setiap lintasan waktu. Misalkan novelis yang puluhan kali mendapat penolakan penerbit. Ilmuwan yang ratusan kali menghadapi percobaan laboratorium yang gagal. Sales yang menghadapi ratusan penolakan dari klien.
Saya mungkin sedikit merasakan hal seperti itu, saat ini saya sedang menempuh program pasca sarjana di Perguruan Tinggi Negeri urutan terbaik ke tiga Indonesia, dimana dituntut untuk menerbitkan jurnal internasional ke jurnal terindeks. Dititik seperti ini saja saya merasakan kesulitan yang cukup tinggi. Maka bagaimana mereka yang berada pada Perguruan Tinggi yang terbaik di ASEAN, NTU misalkan, pasti lebih menghadapi ekstra kesulitan. Lalu bagaimana pula mereka yang berada di Havard, Oxford dsb. Saat saya membaca kualitas Jurnal Ilmiah yang mereka hasilkan, saya seperti membayangkan bahwa saat tidurpun mereka juga bekerja.
Akhirnya kita semua butuh tahu mengenai ilmu psikologi kesuksesan. Bagaimana melewati momen-momen terjal menuju sukses. Beberapa hasil riset populer tentang psikologi kesuksesan paling tidak sepakat mendasarkan bahwa sukses itu buah dari latihan dan kebiasaan, utamanya hard training. Ada teori latihan 10.000 jam dari Malcom Gladwel yang artinya latihan 8 jam per hari selama 8 tahun. Ada juga teori hard training 10 tahun. Yang menarik adalah bahwa riset-riset tentang psikologi sukses ini sudah sangat lama, bahkan ada juga peneliti yang mengamati rahasia sukses orang-orang terdahulu seperti darwin, einstein dsb.
BACA JUGA: Kenapa Kita Harus Sukses?
Di era industri 4.0 saat ini, paling tidak ada beberapa penulis dan peneliti yang populer, mengenai kesuksesan puncak adalah Stephen R Covey dengan 7 habits-nya, Malcom Gladwel dengan Outliers-nya, Daneil Goleman dengan teori EQ-nya, Carol Dweck dengan riset Growth Mindset-nya dan Angela Duckworth dengan Teori Ketabahan (Grit)-nya. Kesamaan mereka adalah mereka membutuhkan waktu puluhan tahun untuk riset, melibatkan ribuan orang responden dan melibatkan orang-orang di puncak kesuksesan. Dan pemikir-pemikir inilah akhirnya yang banyak dikutip oleh penulis populer Indonesia dalam bisnis dan psikologi populer.
Saya memang mengalami sendiri bahwa menempuh jenjang pascasarjana saja sudah melelahkan. Bagaimana mereka yang memperoleh kesuksesan puncak? Pasti perjuangannya berlipat melelahkan. Dan saya melihat teman-teman saya yang hendak meraih master dan doktoralpun berjibaku keras.
Suatu saat saya pernah berpikir, bagaimana jika seluruh kesulitan yang saya lewati ini tidak tercatat sebagai amal saleh di sisi Allah? Bagaimana jika aktivitas belajar yang sampai dini hari dan mereduksi waktu-waktu ibadah tersebut justru tidak ada nilainya di buku catatan amal? Bagaimana jika tantangan stress yang dihadapi yang kadang berujung pada tertundanya ibadah terbuang sia-sia tak berbobot sebagai pahala kesabaran ditimbangan amal sholeh? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang tidak akan pernah bisa dijawab oleh peneliti psikologi kesuksesan di Barat, dan mengharuskan saya menggalinya dari tradisi kesarjanaan Muslim.
Lubang Besar Paradigma Riset Kesuksesan Barat
Hasil riset yang ditawarkan sebagian riset kesuksesan dari barat memang sudah bisa dikategorikan ilmu, bukan lagi hanya sebuah informasi atau gagasan. Hasil riset yang disampaikan objektif dan sesuai dengan kaedah-kaedah ilmiah. Tetapi yang pelu kita kritis adalah bahwa riset-riset tersebut berangkat dari paradigma khas barat yang berbeda secara diametral dengan paradigma Islam yang khas pula.
Dari komparasi paradigma ini kita akan melihat bahwa ada lubang besar riset tentang kesuksesan di barat. Pertama, Paradigma barat mengenai ilmu berifat materialistik. Kedua, Paradigma ilmu barat hanya mendasarkan pada percobaan dan pengetahuan, dan menafikan nash/sumber moral samawi. Ketiga, Dalam paradigma ilmu barat, ilmu dengan moralitas merupakan elemen yang terpisah.
• Paradigma barat mengenai ilmu berifat materialistik
Paradigma barat tentang kesuksesan hanya menuju pada capaian puncak di dunia, dan menafikan capaian puncak akhirat. Paradigma dalam dalam riset kesuksesan barat, semuanya menghajatkan adanya ‘panggung dunia’ setelah bekerja keras, bersifat non tranenden. Artinya 10.000 jam yang dititahkan Gladwel akan memberi kita ‘panggung’ kehormatan sebagai mana The Beatles memiliki panggung didunia musik atau seperti louis pasteur dalam dunia kimia.
Di samping itu ukuran-ukuran yang digunakan adalah material. Misalnya penelitian mengenai perkembangan siswa/mahasiswa setelah bertahun-tahun adalah besar pendapatan mereka. Atau juga responden mereka sebagian besar adala orang yang dikategorikan berpendapatan jauh diatas rata-rata, seperti pendiri Apple, pendiri amazon.com dll.
• Paradigma ilmu barat hanya mendasarkan pada percobaan dan pengetahuan, dan menafikan nash/sumber moral samawi
Barat memang memiliki puncak kemajuan dalam desain eksperimental. Begitu pesat sampai-sampai dunia islam sangat jauh tertinggal. Hal ini dikarenakan sumber utama barat salah satunya adalah metode ilmiah dalam desain eksperimental. Filsafat adalah alat bantu jika percobaan eksperimental tidak bisa dilakukan. Lalu bagaimana posisi wahyu dalam metodologi keilmuan barat?
Seperti halnya sekularisasi di bidang politik, barat juga telah melakukan sekularisasi dibidang keilmuan. Wahyu bukanlah sumber inspirasi keilmuan. Apalagi barat pernah memiliki trauma mengenai pertentangan antara penemuan ilmiah dan wahyu dari alkitab. Sejarah ini terinformasikan dengan baik dalam film fiksi lmiah karya Dan Brown yang berjudul Angel and Demons.
• Dalam paradigma ilmu barat, ilmu dengan moralitas merupakan elemen yang terpisah.
Saya pernah membaca buku terjemah, mengenai rahasia hidup pengabdian yang penuh sukacita. Disalah satu babnya diceritakan mengenai seorang pelacur sukses yang juga mengadvokasi AIDS pada pelacur yang lain. Dibeberapa literasi barat hal-hal seperti ini akan sering kita jumpai. Atau kasus lain, kita masih mendapati bahwa teori brutal darwin dan freud masih sering dipakai sebagai rujukan. Atau juga beberapa penulis yang mengakhri hidupnya dengan bunuh diri masih dikutip sebagai sumber rujukan misal Nietczhe, Edgar Allan Poe. Bagi mereka bunuh diri adalah kematian yang wajar. Itu hanya sebuah pilihan yang tanpa konsekuensi moral di dalamnya, baik konsekuensi moral untuk dirinya setelah mati atau untuk peninggalannya.
BACA JUGA: 5 Rahasia Usaha Sukses dan Berkah
Banyak filsuf, ilmuwan, seniman yang memiliki cacat moral yang srius tetapi masih menempati posisi istimewa dalam khazanah keilmuwan barat. Maka akhirnya memang absurditas menjadi corak kehidupan barat. Misalnya tercermin dari novel Madam Bovary yang menempati literasi penting di Barat. Madam bovary menganggap perselingkuhan adalah sebuah bentuk perjuangan dari suami yang tidak memberi kebahagiaan.
Bagaimana Narasi Islam Mengenai Hal Ini
Merupakan sunnah nabi yang penting, yaitu menghidupkan sahur dan shalat dua rakaat sebelum subuh. Menghidupkan sahur dengan istighfar. Artinya bangun tidur kita diminta evaluasi dan minta ampun. Lalu shalat dua rakaat sebelum subuh. Yang menarik adalah dalam shalat dua rakaat sebelum subuh, disunnahkan membaca surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas. Setelah evaluasi saat sahur, kita diminta berkomitmen kembali dengan “lakum dinukum waliya diin” (bagiku agama (dien) ku, bagimu agama (dien) mu)-(Al Kafirun) dan tauhid (Al Ikhlas). Alur seorang muslim bangun tidur yaitu evaluasi, minta ampun, perteguh wala wal bara dan murnikan ikhlas.
Dien itu menurut Syed naquib Al Attas itu lebih dari agama (millah). Dien merupakan perangkat/tatanilai/paradigma yang menjadi dasar berdirinya sebuah peradaban. Dien mencakup aspek paradigma, metodologi dan penciptaan materi. Jadi sejak bangun tidur kita disunnahkan berkomitmen kembali pada “dien” kita yang khas yang bersumber dari tauhid, bukan dari “dien” yang lain. Termasuk pada metodologi berpikir dan metodologi keilmuan. Inilah barangkali rahasia, kenapa shalat dua rakaat sebelum subuh nilainya lebih dari dunia dan seisinya. Karena kita sedang membangun dua kesadaran yang paling fundamental dalam islam.
Sesuai semangat ‘lakum diinukum waliyadiin’, islam mengajak kita berdiri diatas orisinalitas. Sebesar apapun hegemoni paradigma asing yang melingkupi kita, sejak bangun tidur kesadaran akan orisinalitas harus kita hayati. Sebesar apapun hegemoni metode keilmuan dan riset barat, kita harus percaya diri bahwa orisinalitas islam dalam hal itu lebih baik. Kalau ibnu Khaldun punya teori bahwa bangsa yang kalah akan meniru bangsa yang menang, maka dien islam menjadi fundamen penting untuk bertahan. Boleh kalah secara fisik tetapi jangan kalah secara identitas.
Menurut kami seluruh semangat narasi kesuksesan puncak seorang muslim terangkum dalam doa yang indah ini.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.)
Jika kita menggunakan logika kebalikan maka syarat sukses adalah: Hati yang khusyu’, ilmu yang bermanfat, jiwa yang puas dan doa yang dikabulkan.
• Hati yang Khusyu’
Berbeda dengan paradigma kesuksesan barat yang butuh adanya “panggung di dunia” ini (material). Paradigma islam justru menghindarkan hal seperti ini. Para salaf justru meragukan agama dari orang yang hatinya memiliki ketamakan untuk dikenal/ambisi populer. Islam menjadikan orientasi amal perbuatan manusia pada Allah dan kebahagiaan diakhirat saja. Para salaf berlomba untuk menjadi Anonim dalam beramal, sebagaiman kisah tabiin Ali Zaenal Abidin yang setiap malam membawa kebutuhan masyarakat miskin, dan baru dikenali ketika wafat karena ada bekas dipunggungnya. Kisah ulama salaf yang menyembunyikan buku karyanya, karena takut populer, baru diterbitkan oleh anaknya setelah wafat, dan menjadi best seller. Atau kisah Khalid bin Walid ketika dicopot dari jabatan panglima perang.
BACA JUGA: Wudhu, Kunci Awal Kesuksesan
Seharusnya setelah 10.000 jam berlatih Khalid berhak menikmati panggungnya sebagai panglima, tetapi dengan tanpa alasan yang jelas, Umar mencopot Khalid. Tapi apa komentar Khalid ketika diajak untuk merebut kembali ‘panggungnya’, Khalid menjawab “Biarkan, Aku berperang bukan karena Umar, tapi karena Tuhannya Umar”. Inilah Khusyu’ sejati, buah ikhlas yang dipanen dari pohon tauhid. Khusyu’ adalah hati yang hanya butuh “panggung di akhirat” saja, dan hanya butuh penilaian dari Allah saja.
• Ilmu yang Bermanfaat
Seorang ulama pernah berkata ‘semua manusia dalam keadaan mabuk, kecuali yang berilmu. Yang berilmupun mabuk, kecuai yang beramal. Dan yang beramalpun mabuk, kecuali yang ikhlas’. Maka setelah ikhlas (khusyu’), hajat sukses yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat ini adalah ilmu yang diamalkan. Sehingga bermanfaat baik untuk akhirat maupun dunia, untuk diri maupun masyarakat.
Disamping itu ada prinsip dalam islam mengenai ilmu, hasil utama dari eksplorasi, observasi, literasi ilmu pengetahuan adalah keharusan bertambahnya kualitas iman dan moral kita. Abu Hasan As Syadzili berkata “Siapa yang dengan ilmu dan amalnya tidak bertambah butuh kepada Allah dan tidak tawadhu’ kepada makhluk-Nya, maka dia binasa”. Nah maka dari itu riset barat yang mengukur hasil pendidikan dengan pendapatan, menjadi tidak kompatibel dengan apa yang islam tawarkan.
• Jiwa yang Puas
Ketika barat mengukur sukses hanya dengan performa pemikiran atau material manusia, maka islam mengukur sukses dari titik eksistensial manusia, yaitu jiwa mereka. Adanya perbedaan kapasitas akal, perbedaan takdir yang terjadi, perbedaan bakat pada diri seseorang, menjadikan jiwa yang puas merupakan instrumen yang paling tepat untuk mengukur suksesnya kehidupan. Jiwa yang ridho dengan segala ketentuan Allah adalah hakikat sukses sejati. Jika jiwa sudah ridho, maka hidup telah selesai sebelum berakhirnya jatah umur kita. Sisa hidup hanyalah akhirnya menikmati apa yang Allah berikan, jika musibah dia bersabar, jika nikmat dia besyukur, didzalimi memaafkan, mendzalimi minta maaf. Hidup pun tidak masuk kedalam ambisi dunia yang melelahkan.
Memulai hari tidak berfikir berapa keras dia harus bekerja untuk memperoleh jatah dunia, tapi berpikir, hak Allah mana yang harus saya penuhi diwaktu ini, ini dan ini. Hatinya tawakal menjadikan Allah sebagai sebab rezeki, fisiknya mengikuti sunnah nabi, dengan bekerja keras menggunakan kompetensi terbaik, lalu kemudian hasil apapun yang diperoleh hatinya ridho dengan Allah.
Berbeda dengan produk sukses barat, jiwanya jauh dari puas, hatinya tidak ridho. Salah satu pesohor barat bisa menjadi contoh, sukses dunia sudah diperoleh tetapi karena penyakit tertentu (parkinson menimpa Robin William), membuat dia mengakhiri hidupnya sendiri ditengah gelimang dunia yang diperoleh. Atau seorang Nietze yang menggugat tuhan dan tidak pernah puas lalu bunuh diri. Juga seorang profesor di australia yang melakukan eutanasia karena tidak mampu melawan penyakit tua.
• Doa Yang dikabulkan
Doa yang dikabulkan adalah menyatunya kehendak kita dengan kehendak Allah dan kebalikannya. Artinya Allah ridho dengan apa yang kita minta, sehingga Allah mengabulkannya. Doa yang gagal adalah ketika kehendak kita di suatu lembah, tetapi kehendak Allah ada dilembah yang lain. Maka kalau jiwa yang puas adalah hati kita yang ridho dengan Allah, maka doa yang dikabulkan adalah bahwa Allah mulai ridho dengan kita.
Kita minta sesuatu Allah selalu mengabulkan. Kita minta dunia yang baik, Allah kabulkan. Kita minta akhirat yang baik, Allah juga kabulkan. Betapa mudahnya hidup jika Allah ridho dengan kita, dan kita ridho dengan Allah. Dan inilah yang terjadi dengan kehidupan para sahabat nabi. Terutama sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Kalau kita baca kisah mereka betapa banyak doa mereka yang Allah kabulkan. Seperti doa Umar agar tidak meninggal dengan cara dibunuh seorang muslim. Atau doa Saad agar yang mendzaliminya mendapat balasan yang setimpal.
Apakah teori 10.000 jam tidak relevan kita gunakan?
Hikmah darimanapun adalah milik islam, maka darimanapun datangnya ambilah. Teori latihan 10.000 jam yang keluar dari riset barat adalah hikmah yang sangat berfaedah. Jadi tidak ada salahnya untuk bisa kita amalkan. Tetapi catatan kritisnya adalah, sebagai seorang muslim yang memiliki orisinalitas, maka kita harus sesuaikan dengan identitas kita. Jangan sampai kita mengambil metodenya dan terbawa kepada paradigmanya, menjadikan orientasi kita berlatih/belajar menjadi teralihkan hanya sekedar dunia, materi dan pencapaian akal saja.
Akhirnya saya hanya bisa mewacanakan, bagaimana jika teori 10.000 jam itu kita gunakan untuk melatih ikhlas dan khusyu’ kita kepada Allah? Bagaimana jika teori 10.000 jam tadi kita gunakan untuk menebarluaskan manfaat dari ilmu kita tanpa perlu keharusan memiliki panggung? Bagaimana jika teori 10.000 jam tadi kita gunakan untuk melatih jiwa agar ridho dengan segala ketentuan Allah, baik ketentuan berupa takdir maupun wahyu? Dan terakhir bagaimana jika teori 10.000 jam itu kita gunakan untuk berusaha agar Allah ridho dengan kita sehingga doa-doa kita mudah dikabulkan?. Maka semoga Allah memasukkan kita menjadi golongan yang mendapatkan sukses yang sejati, yaitu mendapat dunia yang baik, akhirat yang baik dan dihindarkan dari siksa neraka. Aamiin. Wallahualam. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.