SURIAH—Tahukah Anda bahwa layanan kesehatan di Suriah pernah menjadi salah satu yang terbaik di Timur Tengah? Itu dulu, sebelum Bashar Assad memicu konflik berkepanjangan pecah pada 2011.
Kini setelah enam tahun konflik berlangsung, layanan kesehatan di Suriah nyaris lumpuh. Kurang dari 50 persen rumah sakit di negara itu yang masih beroperasi. Imbasnya anak-anak yang menderita kanker terancam kehilangan nyawa. Seperti dilansir DW yang dikutip dari Reuters, sekitar 200 anak berobat di Rumah Sakit Anak Damaskus tiap pekannya. Lebih dari 70 persen datang dari luar ibukota.
Pemotongan anggaran bagi kesehatan oleh pemerintah, merosotnya nilai mata uang dan efek tak langsung sanksi, ikut memperparah kesengsaraan pasien yang perlu obat-obatan dari luar negeri. Sebelum perang pecah, Suriah mampu memproduksi sendiri 90 persen obat-obat yang dibutuhkan. Namun, sejak dulu obat kanker memang diimpor.
Perwakilan WHO di Suriah mengatakan, impor obat-obatan terkena pemotongan besar anggaran kesehatan dari pemerintah sejak mulainya perang tahun 2011. Selain itu, merosotnya nilai mata uang Pound Suriah hingga 90 persen menyebabkan harga obat sangat mahal.
“Sanksi ekonomi atas Suriah juga berdampak negatif pada penyediaan obat-obatan khusus termasuk obat anti-kanker. Sanksi mencegah banyak perusahaan asing untuk mengadakan bisnis dengan Suriah. Juga mencegah bank-bank asing untuk mengurus transaksi bagi obat-obatan impor,” ungkap Elizabeth Hoff, perwakilan WHO di Suriah.
BASMA, sebuah lembaga bantuan swasta berusaha membantu dengan membiayai obat anti kanker bagi keluarga miskin. Jumlah pasien yang butuh sokongan lembaga itu meningkat dari 30 persen menjadi hampir 80 persen sejak konflik terjadi. Direktur BASMA, Rima Salem menilai penundaan pengobatan sangat mengkhawatirkan karena bisa menyebabkan kematian anak. []