PERCERAIAN adalah hal yang Allah tidak sukai, setiap masalah pasti ada solusinya. Nah, ketika kita ditimpa masalah rumah tangga, harusnya diselesaikan secara baik-baik. Jangan sampai perceraian itu terjadi.
Di kalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat yang kondisinya berbeda satu sama lain. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati, dan dijaga, sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah.
Jika seseorang ingin dipuji dan terpandang di mata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
BACA JUGA: Suami Terkena Penyakit Menular, Bolehkah Minta Cerai?
Jika seseorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika mau dia bisa menyalakan api peperangan dan pertempuran di antara mereka.
Sekalipun, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin di tengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Seseorang wanita tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah mereka telah mengenal peraturan perceraian antara suami isteri. Hal itu menurut mereka merupakan hak suami saja. Bukan hak isteri.
Ia dapat menjatuhkannya kapan saja dia menghendakinya, tanpa sebab apapun. Ia bebas untuk meninggalkan isterinya sebagaimana ia bebas untuk mengawininya.
Akan tetapi isteri tidak berhak untuk meninggalkan suaminya secara mutlak, tidak boleh meminta talak kepadanya dalam keadaan bagaimanapun. Kecuali apabila isteri mensyaratkan hak itu untuk dirinya pada akad nikah, maka ia berhak untuk talak ketika itu.
Para perempuan bangsawan dari bangsa Arab jahiliyah yang mempersyaratkan hak ini untuk diri mereka pada saat akad perkawinan mereka.
Di antara perempuan yang mempersyaratkan hak talak ini untuk diri mereka dalam masa jahiliyah ialah Salma binti al-Harsyab al-Anmariyyah, Ummu Kharijah Shahibh al-Matsal (pemilik pepatah): “Lebih cepat dari perkawinan Ummu Kharijah. Dan Mariyah binti al-Ja’id, serta Atikah binti Murrah dan lain sebagainya.
Kedudukan wanita di jaman jahiliyah Kehidupan wanita di jaman jahiliyah yaitu di arab dan di dunia secara umum, adalah di dalam kehinaan dan kerendahan.
Khususnya di bumi arab, para wanita dibenci kelahiran dan kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka, adalah awal dari kematian mereka.
BACA JUGA: 5 Syarat Perceraian Dalam Islam
Para bayi wanita yang dilahirkan di masa itu segera di kubur hidup-hidup di bawah tanah. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Ini firman Allah,
“Ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (QS At Takwir : 8-9)
Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka.
Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan. []
Sumber: Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam/Karya: Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi /Penerbit: Dina Utama Semarang