Oleh: Irianti Aminatun
member AMK
Daulah islam, dalam sejarahnya yang panjang, telah bersentuhan dengan peran ulama yang mulia dan menyatu dengan para penguasa. Peran mereka yang dihiasi dengan kejujuran, keberanian dan keikhlasan terhadap Allah dan agama, telah menjadi bintang dan cahaya yang memberikan petunjuk kepada para penguasa dan rakyat dalam kegelapan hidup.
Para ulama pada masa itu, telah menampakkan keagungan Islam dan menerangkan di dalamnya hakikat syariat islam yang murni dan bersih untuk meluruskan para penguasa yang membelot walaupun sejengkal dan untuk mengobati seluruh penyakit pemerintah yang dipimpin penguasa yang dianut rakyatnya. Ulama menaklukkan dunia dengan keteguhan iman, dengan ketabahan, kesabaran dan keberanian, sehingga berani mengatakan kebenaran di depan penguasa lalim.
Salah satu diantara ulama itu adalah Imam Atha’ bin Abi Rabah, salah seorang ulama tabi’in, pewaris ‘Abdullah bin ‘Abbas.
Dunia dengan gemerlapnya telah merayu dan berusaha menggoyahkan Atha’ bin Abi Rabah. Namun ia menghindar dan sangat kuat menolaknya. Sungguh para Khalifah telah meminta dirinya untuk menemani mereka. Namun ia tidak bersedia. Ia khawatir agamanya akan rusak gara-gara dunia. Namun terkadang ia mengunjungi Khalifah apabila hal tersebut bermanfaat bagi kaum Muslimin dan membuahkan kebaikan bagi Islam.
Suatu hari ‘Atha’ bin Abi Rabah mengunjungi istana. Ketika tahu bahwa ‘Atha’ berada di depan pintu, Khalifah Hisyam bin Abdil Malik mempersilahkannya masuk. Hisyam berkata, “marhaban …..marhaban….Selamat datang. Silakan masuk! Marilah kesini!” demikian ia ucapkan terus menerus.
Hisyam lalu menghadap ‘Atha’ dan mengajaknya berdialog. “Apa keperluan Anda, wahai Abu Muhammad?” tanya Hisyam.
Imam Atha’ pun mengawali nasihatnya agar Khalifah Hisyam memenuhi hak seluruh penduduk Makah dan Madinah. Sebab mereka yang berada di dua kota suci itu merupakan tamu Allah SWT dan tetangga Rasulullah SAW.
Beliau juga mengingatkan agar Khalifah Hisyam membagikan kelebihan sedekah kepada penduduk Najd dan Hijaz, memperhatikankan keluarga mujahid yang berada di perbatasan mempertahankan negeri kaum Muslimin, serta tidak mendzalimi orang-orang kafir dzimmi sebab mereka adalah amanah dari Allah dan Rasulullah.
Setiap selesai mendengar nasihat Imam Atho’, Khalifah Hisyam hanya menunduk penuh hormat, membenarkan, lalu memerintahkan pada sekretarisnya untuk menuliskan perintah kepada seluruh stafnya agar melaksanakan nasihat Imam Atho’ tersebut.
Di akhir nasihatnya, Imam Atha’ mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah atas diri Anda, Wahai Amirul Mukminin! Ketahuilah, Anda diciptakan seorang diri. Andapun akan mati seorang diri, lalu dikumpulkan seorang diri juga. Bahkan, Anda akan dihisab dan dihitung seorang diri. Demi Allah, tidak akan ada seorangpun yang anda lihat ini (di sini di kerajaan anda) menyertai Anda. Dan tak satupun dari mereka yang kuasa menjadi pembela anda”. Sang Khalifah pun jatuh tersungkur ke tanah dengan isak tangis.
Ketika Khalifah masih tunduk dalam tangisnya, Imam Atho’ berlalu tanpa beban. Kemudian datanglah utusan Khalifah yang menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Akan tetapi Imam Atho’ menolaknya seraya membacakan firman Allah SWT yang artinya “Dan aku sekali-kali tidak meminta imbalan atas ajakan-ajakan itu. Sungguh imbalanku hanyalah di sisi Rabb semesta alam.” (TQS asy-Syu’ara ayat 109).
Imam Atho telah menemui Khalifah, memberikan nasihat agar memenuhi hajat kaum muslimin, menjaga keamanan negara, memperhatikan ahlu dzimmah, sampai membuat Khalifah menangis, dan keluar dari istananya tanpa meminum setetes air pun.
Dari kisah di atas, sungguh terdapat pelajaran yang sangat berharga yang bisa dijadikan cermin bagi ulama dan para penguasa.
Pertama; ada tanggung jawab besar yang dipikul ulama untuk membersamai penguasa dalam mengatur seluruh urusan rakyat agar ketika penguasa lalai ulama mengingatkan.
Ranah muhasabah ulama bukan sebatas masalah ibadah mahdhoh tapi mencakup seluruh urusan kenegaraan baik menyangkut kesejahteraan rakyat, hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, keamanan negara, perlakuan terhadap non Muslim, dan yang lainnya yang kesemuanya menjadi tanggungjawab penguasa yang kelak akan dimintakan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Kedua; penguasa yang memuliakan ulama karena capabiltas keulamaannya, serta siap menerima koreksi dari ulama demi kebaikan negara yang dipimpinnya.
Ketiga; ulama yang tidak tergiur imbalan dunia, hingga kepalanya bisa tegak dengan suara lantang melakukan koreksi kepada penguasa tanpa terbebani “balas budi” karena imbalan yang pernah diterima. Wallahu a’lam bi showab. []
Sumber: Dr. Abdurrrahman Ra’fat Basya Kisah-kisah menakjubkan dari perjalan hidup generasi terbaik kedua uamt islam, At-Tuqa Yogyakarta.
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.