Oleh: Ibnu Qayyim Al Jauziyah
APABILA seorang mukmin menghendaki supaya Allah Subhanahu wata’ala menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauhnya manusia dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya.
Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh oleh orang-orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela, dihina dan ditahdzir oleh mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
BACA JUGA: Umar Tunjukkan Keimanan yang Kuat, Meski Miliki Masa Lalu yang Buruk
Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar kepadanya.
Sehingga dirinya menjadi orang yang: Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka. Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan. Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka. Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka. Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka. Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya. Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka.
Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.
BACA JUGA: Manusia Memiliki Takdirnya Masing-masing
Karena dirinya adalah: Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah. Penyeru kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah. Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf. []
Madarijus Salikin (III/200)