Oleh: Arief Siddiq Razaan
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu.
NAK, ayah tidak pernah meminta sesuatu padamu, tetapi untuk kali ini dengarlah apa yang ayah sampaikan.
Hal ini menyangkut sebuah hadist yang diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth (7/332 no 7648), lafalnya sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلاً خَرَجَ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لاَ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا وَكَانَ أَبُوْهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ وَكَانَتْ فِي أَعْلاَهَا فَمَرَضَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَمَاتَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ غَفَرَ لِأَبِيْهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا
“Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya ada seseorang yang bersafar dan memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumah. Ayah sang wanita tinggal di lantai dasar rumah, sedangkan sang wanita tinggal di lantai atas. Ayahnya lalu sakit, maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebutkan kondisi ayahnya (yaitu sang wanita ingin keluar dari rumahnya untuk menjenguk dan merawat ayahnya) maka Nabi berkata, “Hendaknya engkau ta’at kepada suamimu.”
Lalu ayahnyapun meninggal. Maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (minta izin keluar rumah untuk melayat ayahnya) maka Nabi berkata, “Taatlah engkau kepada suamimu,” lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya (mengabarkan) bahwasanya Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatan sang wanita kepada suaminya.”
Barangkali hadis ini banyak dijadikan alasan untuk mengukuhkan kekuasaan suami sehingga kepatuhan pada seorang suami melebihi pengabdian anak kepada orang tuanya. Padahal apabila ingin mendalami sebuah ilmu harusnya mencari perimbangan hadis yang lain sehingga dirimu lebih bijaksana untuk mengambil sebuah keputusan. Sungguh, kebenaran hadis di atas memang hanya Allah yang mengetahui, namun perlu Ibu sampaikan padamu bahwa bisa jadi hadis tersebut adalah hadis yang lemah. Lemahnya hadis tersebut dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab (16/413).
Imam As-Syafii berkata:
وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جَنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا ، وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ “
“Dan suaminya berhak untuk melarang istrinya menghadiri (melayat) janazah ibunya, ayahnya, dan anaknya, akan tetapi aku tidak menyukai hal ini.”
Sesungguhnya ayah sang wanita memiliki hak-hak yang sangat banyak yang harus ditunaikan oleh putrinya. Yang paling jelas dari hak-hak tersebut di antaranya adalah:
– Haknya sebagai seorang ayah, karena Allah berfirman وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (Hendaknya kalian berbuat baik kepada kedua orang tua kalian sabaik-baiknya). Di mana Allah menggandengkan perintah berbakti kepada kedua orang tua dengan perintah untuk beribadah kepada-Nya.
– Haknya sebagai sesama muslim, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ “Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada lima,” dan di antaranya adalah وَإِذَا مَرَضَ فَعُدْهُ “Jika ia sakit maka jenguklah dia.”
– HAK untuk disilaturahmi. Allah telah berkata (*kepada rahim sebagaimana dalam hadis qudsi) : اشْتَقَقْتُ لَكِ اسْمًا مِنْ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ “Aku telah mengambil namamu dari isytiqooq (pecahan) namaku, maka barangsiapa yang menyambungmu maka aku akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskanmu maka aku akan memutusnya.”
– Hak kemanusiaan, مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يُرْحَمُ (*karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati.”
– Hak sang ayah untuk memperoleh pertolongan untuk melangsungkan hidupnya (*sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، وَدَخَلَتْ امْرَأَةٌ الْجَنَّةَ فِي هِرَّةٍ “Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing (*yang ia kurung dan tidak diberi makan hingga mati) dan seorang wanita masuk surga karena seekor kucing (*yang ditolongnya).”
Pendapat Imam An-Nawawi adalah pendapat yang lebih kuat mengingat dalil yang disebutkan oleh beliau rahimahullah. Dan pendapat ini sesuai dengan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki; Az-Zaila’i Al-Hanafi berkata:
وَقِيلَ لَا يَمْنَعُهَا مِنْ الْخُرُوجِ إلَى الْوَالِدَيْنِ ، وَلَا يَمْنَعُهُمَا مِنْ الدُّخُولِ عَلَيْهَا …وهُوَ الصَّحِيحُ
“Dan dikatakan bahwasanya seorang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk mengunjungi kedua orang tuanya, ia juga tidak boleh melarang kedua orang tua istrinya untuk menemui istrinya… dan inilah pendapat yang benar,” (Tabyiinul Haqoo’iq li Az-Zaila’i, beserta hasyiyah Al-Syilbi 3/58-59).
Dari itu, janganlah gegabah dalam menafsirkan sebuah hadis. Cobalah lebih banyak berkarib ajar perihal adab kepada orang tua, sungguh ini bukan upaya pembenaran atas keinginan ayah untuk diperhatikan oleh putrinya, namun ini hanyalah sebuah upaya penyadaran bahwa ada masalah yang mesti dikupas dengan sudut pandang lain sehingga menemukan sebuah pencerahan.
Ayah hanya tidak ingin dirimu menjadi golongan hamba-Nya yang merugi karena tidak mampu bersikap lebih hati-hati untuk memutuskan sebuah perkara. Sungguh apa yang ayah sampaikan di atas itu belum seberapa apabila dibandingkan dengan kenyataan bahwa seorang istri wajib mendurhakai suaminya yang melarangnya untuk merawat ayahnya yang sakit, jika ternyata tidak ada orang lain yang merawatnya. Karena tidak merawat ayah adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah, hal ini diriwayatkan oleh Zainuddin Ibnu Nujaim Al-Hanafi yang menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
وَلَوْ كان أَبُوهَا زَمِنًا وَلَيْسَ له من يَقُومُ عليه مُؤْمِنًا كان أو كَافِرًا فإن عليها أَنْ تَعْصِيَ الزَّوْجَ في الْمَنْعِ
“Jika ayahnya sakit dan tidak ada yang merawatnya –baik sang ayah seorang mukmin ataupun kafir- maka wajib bagi sang istri untuk durhaka kepada suaminya yang melarangnya merawat ayahnya,” (Al-Bahr Ar-Rooiq Syarh Kanz Ad-Daqooiq 3/237, lihat juga 4/212).
Semoga dirimu selalu terjaga dari tindakan durhaka kepada orang tua, namun andai pun suamimu belum terbuka hatinya untuk kebenaran ini, bersabarlah dan terus berdoa. In-syaa Allah suami yang baik pasti lebih paham bahwa sesungguhnya kepedulian pada orang tua itu ajaran yang baik.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu. []