Oleh: Daud Farma
Wajah manis anak kecil berusia lima tahun itu tak kunjung kering, air matanya jatuh bagaikan air mengalir dari sumur ke dataran rendah. Ibunya sedari tadi memeluk jenazah ayahnya korban tenggelam karena angin laut yang dahsyat telah menenggelamkan perahunya yang sedang nelayan pada waktu sore.
Pesan sang suami ialah agar membesarkan putrinya yang baru berusia lima tahun itu. Membimbingnya hingga sukses. Namun, karena paras Siti yang cantik, tidak lama setelah suaminya wafat, Siti pun dinikahi oleh seorang arsitek yang cukup kaya. Siti dan putri kecilnya pindah ke kota, ikut suami barunya, meninggalkan rumah kecilnya yang tak jauh dari laut itu.
Sebulan pertama, suasana rumah tangga baru Siti berjalan dengan baik-baik saja. Tapi pada bulan berikutnya Siti pun mulai merasa tidak kuat untuk meneruskan lebih jauh rumah tangga barunya. Siti ingin kembali lagi ke rumahnya yang dulu, ingin mengurus anaknya dengan sebatang kara. Siti sudah tidak sanggup dengan sikap lakinya yang galak, suka memukulnya, menempeleng dan bahkan sampai hati menendangnya. Kalau Siti lambat masak saja, suaminya dengan memasang muka merah padam dan tangannya segera melayang ke muka Siti.
Melihat Siti menangis, anaknya pun ikut menangis. Tahu betul anaknya bahwa ibunya sedang disakiti ayah tirinya. Suami Siti pulang ke rumah selalu larut malam dan mabuk-mabukkan. Hal inilah yang membuat Siti hingga menggugat cerai, padahal kata cerai itu berkali-kali ingin ia hindari agar tidak pernah terucap dari mulutnya. Sudah sering juga ia bikin ulah dengan sengaja agar suaminya marah dan segera menceraikannya, seperti tidur duluan dan tidak membukakan pintu saat suaminya pulang cepat maupun terlambat. Siti malah selalu dipukul, tapi tidak pernah suaminya ingin menceraikannya. Malah ia yang terisak, menangis menahan derita.
Jam setengah dua belas malam, Siti dan putri kecilnya keluar dari rumah. Tangan kanannya menggenggam dan menarik gagang koper sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan putri kecilnya. Setelah menyetop taksi di tempat sunyi itu, berangkatlah Siti dan putri kecilnya menuju kampung halaman. Belum jauh menelusuri jalan pulang, Siti diborgol, mulutnya diisolasi, putri kecilnya diturunkan di pinggir jalan dan Siti dibawa kabur supir taksi yang bermuka jahat itu.
Hambur air mata Siti terakhir kali melihat putri kecilnya di tempat gelap yang hanya ada satu lampu menyala di tiang listrik itu. Tapi apa boleh daya, Siti tak dapat berteriak, hanya air matanya yang dapat menggambarkan kesedihan yang melanda batinnya.
Hasna lari dengan sekuat tenaganya, sekencang pacuan yang ia bisa, untuk mengejar mobil yang membawa ibundanya, tapi hanya lima langkah, Hasna terjatuh. Hasna guling-guling diri menangisi ibundanya dibawa pergi oleh manusia jahat yang hati kecilnya telah lama mati. Satu jam menangis, Hasna lelah, ia duduk di bawah pohon, ia tak punya rasa takut, sebab sejak ia lahir hingga berusia lima tahun ini, ibundanya belum pernah memberinya tontonan horor, ia belum tahu kalimat hantu, ia tidak pernah dikenalkan dengan hal-hal yang membuatnya takut. Apakah ia akan takut? Sama sekali tidak! Hasna hanya merasa kedinginan. Angin malam mencubit-cubit kulit mudanya. Ia jauh menepi dari jalan, tidak ada satu mobil pun yang berhenti dan tak satu orang pun sampai mengira ada anak kecil berusia lima tahun yang duduk sambil menangis di bawah pohon itu.
Hasna melihat ke sekeliling, kosong, gelap, hanya pantulan kecil dari cahaya lampu tiang listrik. Tangisnya makin kecil, ia terisak-isak, suaranya serak. Hasna mendekat lagi ke tiang listrik lalu duduk dengan melipat tangan di dada, tubuhnya menggigil. Sudah jam dua belas lewat, mobil tidak ada yang melewati jalan sepi itu. Anak kecil itu pun tertidur karena sudah cukup lelah ia menangis, air matanya sudah habis.
Jam empat pagi menjelang subuh, sebuah mobil terhenti karena lampu tembak mobilnya tepat mengenai wajah imut nan cantik itu. Segera ia masukkan anak kecil itu ke dalam mobilnya, tanpa pikir panjang supir mobil itu membawa Hasna ke panti asuhan. Hasna masih terlelap, ia tidak sadar dirinya telah dibaringkan di atas kasur.
“Bangun! Bangun! Dasar anak pemalas! Pagi-pagi masih tidur!” suara pengasuh cerewet yang kejam. Di matanya semua anak sama saja, tidak pilih kasih. Kata-katanya selalu pedas pada anak kecil. Karena galak dan terkenal kejamnya itu banyak anak pantinya yang minggat kaburkan diri. Tapi Hasna? Jangankan minggat, langkahnya sekarang saja ia tidak tahu. Hasna hanya bisa menangis dan menangis. Masih sangat kecil ia menerima semua kenyataan yang sedang ia hadapi, tapi semua itu membuatnya semakin kuat. Kupingnya setiap hari mendengar kata yang meneteskan air matanya. Bukan karena maknanya, tapi intonesinya yang membuatnya gemetar. Seorang mbak pengasuh yang galak dan kejam. Sesekali Hasna pergi ke kamar Susi, pengasuh yang baik, yang selalu membujuknya ketika ia menangis.
“Hasna yang cantik, ayo sini sama mbak, kita jajan yuk!” Hasna ngikut tapi air matanya tak henti, sebab sudah terbiasa mengalir. Waktu begitu cepat berlalu, Hasna pun masuk TK, lalu SD, SMP dan SMA. Sampai meranjak remaja Hasna masih di panti asuhan. Karena ia terdaftar sebagai anak yatim piatu, semua biaya sekolahnya gratis. Hingga-hingga pakaian dan jajannya pun diberi oleh orang baik yang punya rezeki lebih. Pulang-pergi, keluar-masuk pintu gerbang panti asuhan Hasna menjalani pendidikannya. Tepat pada usia sembilan belas tahun, sudah tamat SMA, Hasna pun dinikahi oleh seorang saudagar yang juga kaya.
“Terima kasih atas semuanya, mbak, saya pamit. InsyaAllah saya akan ke sini lagi nantinya menjenguk Mbak. Panti ini adalah rumahku. Aku pasti rindu masa laluku.” Hasna pamit pada pengasuhnya yang baik hati dan juga yang galak dan kejam itu.
Kini Hasna sudah tinggal dengan suaminya yang ganteng dan kaya. Harinya-harinya berubah dratis, ia bahagia, sudah tidak merasa tersiksa dengan kata-kata pedas mbaknya yang kejam itu. Tapi? Hasna masih merindukan ibunya, ia masih berbaik sangka bahwa ibunya belum meninggal.
Setelah dua bulan menikah, sikap suaminya mulai berubah. Suaminya selingkuh, jarang pulang. Akhirnya, pada waktu Hasna pulang dari belanja di pasar, Hasna mendapati suaminya tidur di kamar dengan kekasih barunya. Siang itu juga Hasna pergi meninggalkan rumah suaminya. Hasna hanya membawa pakaian yang ia kenakan. Suaminya? Sama sekali tidak mengejar apalagi mencarinya.
Hasna malu pulang ke panti asuhan. Ia malu pada mbaknya yang selama ini baik padanya, pun ia sedikit takut dan kecil pilihan untuk kembali karena mengingat mbaknya yang kejam itu belum berubah.
Hasna pergi jauh meninggalkan rumah suaminya juga jauh dari alamat panti asuhannya. Hasna turun di pusat kota, dekat rumah ayahnya yang dulu sering memukuli ibunya. Hasna ingin tahu bagaimana kabar manusia yang kejam itu, orang yang menempeleng ibunya di depan matanya. Ia masih ingat sekali kejadian lama itu. Begitu ia sampai di depan gerbangnya, Hasna membaca tulisan berwarna putih di atas pamplek warna hitam: rumah ini dijual. Ia bertanya ke tetangga sebelah rumah tersebut.
“Pemiliknya banyak utang Non. Gara-gara tidak mampu bayar utang, rumah ini jadi tebusannya. Akhirnya orang yang menagih hutangnya itu pun menjual rumah ini. Sekarang pemilik rumah ini sudah bangkrut, pindah ke desa!” begitu penjelasan tetangga lamanya.
Hasna pun pergi, jauh-jauh dari rumah itu. Ketika ia melihat rumah itu, ingatannya hanyalah orang kejam yang memukul ibunya. Dulu ia panggil ayah, sekarang? Penjahat! Pecundang! Pengkhianat!
Hasna kelaparan, ia mencari pekerjaan sana-sini. Ia datangi warung-warung, ia bersedia jadi tukang cuci piring, menyapu, dan pekerjaan yang bisa dilakukan perempuan, tapi tidak ada yang menerimanya.
“Silakan cari di tempat lain!” Puluhan kali ia dengar kata-kata itu. Hasna benar-benar lapar, rasa lapar mengalahkan rasa malunya. Hasna pun menutup wajahnya dengan kain, persis seperti orang yang bercadar.
Hasna berdiri di pinggir jalan dengan mengulurkan tisu yang ia minta ke warung nasi yang ia datangi tadi. Siang hari tentunya panas, banyak yang kepanasan, hingga tangan pun berkeringatan. Pasti ada yang membutuhkan tisu. Setiap ada yang lewat, tisu Hasna dicopot satu-persatu, lembar-demi lembar. Ada yang memberikan lima ratus rupiah, ada yang memberikan seribu, ada yang goceng dan ada juga yang tidak mengambil tisu tapi memberi seribu rupiah karena kasihan melihat Hasna, tidak ada bedanya dengan peminta-minta lainnya, ada pula yang ngambil tapi tidak bayar.
Sampai sore, Hasna berhasil mengumpulkan seratus ribu rupiah. Hasna segera membeli nasi bungkus dengan lauk paling murah. Habis lima belas ribu. Perut Hasna sedikit berisi. Selesai makan, Hasna punya tujuan akhir, ia ingin pulang. Ziarah makam ayahnya. Ia masih ingat alamat makam ayahnya yang korban kecelakaan angin laut lalu. Kubur ayahnya tidak jauh dari rumah kecilnya dulu. Hasna pun pulang, meninggalkan kota yang kejam. Perjalanan malam pun ditempuh Hasna dengan diiringi linangan air mata dan rasa rindu pulang kampung halaman. Walaupun tidak menemukan ibu, setidaknya bisa ziarah makam ayah tercinta, bisik hati kecilnya.
Pagi-pagi sekali Hasna sampai di desanya. Rumahnya yang dulu berdiri sudah rata dengan tanah. Pemandangan yang dulu sudah tidak mirip lagi dengan yang ia lihat sekarang, agak jauh di sebelah kanan sana berdiri lagi sebuah rumah yang baru dibangun. Tapi Hasna tidak ingin menemui pemilik rumah itu. Hasna ingin sekali ziarah makam ayahnya. Langkahnya cepat, sudah tak sabar ingin segera sampai di pusara sang ayah. Ayah Yang sangat sayang padanya waktu ia kecil dulu.
Namun, alangkah terkejut dan tidak percayanya ia, ketika menemukan pusara baru tepat di samping pusara ayahnya. Di sana tertulis: Siti, nama ibunya. Tertulis di makam itu hari dan tanggal meninggalnya sang ibu yang teramat sayang padanya, baru sebulan yang lalu ibunya meninggal. Tangis Hasna pecah. Ia memeluk papan nama pasura ibunya. Hasna yang bernasib selalu menghamburkan air mata sejak kecilnya. Setelah mendoakan kedua orangtuanya, dengan langkah yang berat Hasna meninggalkan pasura kedua orangtuanya. Ia ingin tahu siapa pemilik rumah yang baru berdiri itu. Ia mendekat lalu mengetuk pintu.
“Anda?!” Hasna terkejut pada lelaki tua yang membukakan pintu itu. Ia kenal sekali dan masih ingat pada lelaki tua yang sekarang di depannya, wajahnya tidak bisa dilupakan Hasna.
“Siapa ya?” tanyanya pada Hasna heran. Ia tidak mengenali Hasna.
Tapi Hasna malah menangis, ia mengingat kejadian yang dulu dilakukan lelaki tua itu pada ibunya, lelaki itulah ayah tirinya yang galak dan jahat itu. Hasna dipersilakan masuk. Mau bagaimana pun, Hasna harus menerima semua kenyataan yang telah terjadi.
Lelaki tua itu pun menyesali perbuatannya dulu. Ia minta maaf pada Hasna.
“Dulu waktu ibumu pergi. Aku hidup dengan perempuan nakal. Setelah hartaku habis dimakannya, ia pun pergi meninggalkanku. Utangku sudah banyak dan rumah itu sebagai tebusannya. Dan rumah itu juga dijual ke orang lain. Lalu aku pun memutuskan mencari ibumu, aku menemukan alamatnya di desa ini. Dan ibumu memaafkanku, menerimaku lagi sebagai suaminya.
Kami jalani hari-hari kami di desa ini. Berhari-hari ibumu menantikan kehadiranmu, ia tak jarang bertanya ke orang-orang tentangmu, ibumu menunggumu kembali, tapi kamu datang setelah ia tiada. Ibumu menitipkan sebuah surat padaku yang belum sempat aku baca.” Hasna menerima surat itu, tapi belum sanggup ia membacanya, sedari tadi tangisnya sendu.
Enam bulan kemudian, Hasna hamil tua. Sembilan bulan sudah usia kandungannya. Dua bulan bersama suaminya yang telah menikah dengannya hampir setahun lalu, membuahkan hasil. Kini Hasna sudah hamil tua. Hasna hidup dengan ayah tirinya yang sudah berubah dratis, jadi orang baik. Ayahnya memanggil Ibu-ibu kampung untuk membantu persalinan Hasna. Sebelum anaknya lahir, Hasna sempat-sempatnya berpesan pada ayahnya.
“Nanti kalau anakku besar, sudah bisa membaca, tolong berikan surat ini padanya!” kata Hasna pada ayah tirinya. Segera ayah tirinya menyimpan surat itu.
“Ayo! Ayo!” para ibu-ibu menyemangati. Hasna berusaha sekuat tenaganya untuk melahirkan bayinya, segela tenaganya telah ia keluarkan. Akhirnya bayi itu lahir dengan selamat, bayi perempuan yang cantik dan imut, seperti Hasna waktu kecilnya. Hasna? Mengembuskan napas terakhirnya.
Ayah tirinya hanya bisa menangis menerima semua kenyataan pilunya. Hasna dimandikan, dikafani, dishalatkan lalu Hasna pun dikburkan di samping makam ibunya, berdekatan dengan pusara ayahnya.
Hari begitu cepat berganti, kini bayi kecil itu tumbuh cantik, imut dan menggemaskan dan tinggal dengan kakek tirinya. Kakeknya yang baik hati. Selalu memberinya dengan cerita dongeng. Mengajarinya berhitung dan membaca. Kakek tirinya tidak bisa ngaji, ia punya cara lain yaitu memutar mp3 ngaji setiap hari di rumahnya, didengarkan putri kecil Hasna. Kini anak itu sudah masuk SD, sudah lancar membaca dan pandai pula ngaji.
“Ini hadiah dari ibumu.” kata kakeknya sembari memberikan titipan ibu putri kecil yang cantik itu.
Segera ia buka lalu ia baca dengan keras-keras di depan kakeknya, kakeknya sendiri belum tahu isi surat itu.
“Anakku, kalau mencari suami, carilah yang taat beragama, baik perilakunya. Jangan hanya mengutamakan hartanya! Carilah yang bisa menuntunmu untuk selalu taqwa pada Allah Subhanahu Wata’alaa. Karena semua kita akan kembali padan-Nya!”
Putri kecil Hasna itu tidak tahu maksud dan makna tulisan tersebut. Ia hanya bisa membaca dan membacanya dengan lancar. Putri kecil Hasna yang cantik dan cerdas. Kakeknya yang mendengar dibacakan putri kecil Hasna, mengingat masa lalunya, bahwa ia adalah lelaki yang kurang beruntung. Banyak harta tapi jauh dari Sang Pencipta, Allah Swt.
Putri kecil Hasna menyalin kembali kata-kata yang tertulis dari ibunya itu. Sudah hal biasa yang ia lakukan, bila ada bacaan baru, selalu disalin ulang oleh putri kecil Hasna. Nasihat terakhir ibunya itulah yang membimbingnya ketika ia tumbuh dewasa nantinya. []
Kawakib-Darrasah-Kairo, 9 September 2017.