Oleh: Anggarani Ahliah Citra
NEGERI kaya akan hasil bumi telah berhasil dalam genggaman tangan. Perjuangan yang melelahkan dan menghabiskan banyak biaya terbayar sudah. Ini adalah awal dari semua. Saatnya mengembalikan modal yang telah terkuras.
Aku mulai memeriksa catatan pengeluaran saat pemilihan dulu, sebelum satu periode modal itu harus segera kembali. Bagaimana pun caranya.
Ratusan berkas kutelusuri, pandangan ini tertumpu pada satu berkas. Yaitu, pengajuan investasi dari negara-negara asing. Ya, itulah cara tercepat mengembalikan semuanya.
Negeri Adidaya, mengajukan cukup banyak penawaran. Hanya saja mereka meminta jalur darat diperbaiki secepatnya. Mereka ingin membangun hotel-hotel, perkantoran, dan juga pangkalan militer di sini.
BACA JUGA: Pulau Cuki yang Bertuhankan Hujan
Aku segera memanggil Menteri Pembangunan Jalan, memberikan perintah agar rencana ini berjalan mulus.
“Baik, Yang Mulia. Segera kami laksanakan.”
“Buat perhitungan sedetail mungkin dan harus hemat.”
“Biaya yang kita perlukan cukup besar, Yang Mulia. Terutama untuk pembebasan lahan dan juga pembangunan jalan.”
“Beri saja biaya pembebasan lahan pada warga. Tapi, minta mereka menyerahkan kepala untuk pembangunan jalan. Ratusan juta kepala warga tentu dapat menghemat biaya bukan?”
“Baiklah, Yang Mulia. Akan kami laksanakan.”
***
Pengumuman dari pemerintah segera tersebar luas. Pembangunan jalan segera dilakukan. Pembebasan lahan mendapat penggantian yang besar, tetapi warga harus meyerahkan semua kepala mereka sebagai bahan dasar pembuatan jalan.
Warga mulai kasak-kusuk.
Sebagian setuju, sebagian lagi tidak. Kepala sebagai syarat bukanlah hal sepele, tentu akan berpengaruh pada penampilan dan juga daya pikir diri. Tapi, nominal yang diberikan memang menggiurkan, lagi pula yang tidak setuju pun tetap harus menyerahkan lahan, bahkan tidak mendapat biaya penggantian. Benar-benar tidak ada pilihan.
“Kalian tenang saja. Nanti di sepanjang kota akan dibuat gedung-gedung komersial yang membuka lapangan pekerjaan untuk kalian. Walau pun kalian hidup tanpa kepala, kalian bisa tetap bekerja.”
***
Pagi ini aku menggelar rapat dengan para menteri terkait kerjasama antar negara yang akan segera dilaksanakan.
“Bagaimana, Pak Menteri. Apakah warga setuju dengan tawaran yang kita berikan?”
“Ya, Yang Mulia. Mereka semua setuju. Minggu depan pembebasan lahan akan selesai, pembangunan jalan dapat segera dilaksanakan.”
Rapat kali ini benar-benar membuat puas. Segalanya akan berjalan lancar, tepat pada waktunya. Pundi-pundi emas akan segera penuh dan dapat kunikmati selama tujuh turunan. Tak akan ada yang berani menolak perintah, karena aku adalah orang nomor satu di negara. Lagi pula, ini semua demi kesejahteraan rakyat.
***
Pembayaran dilakukan. Semua warga setuju untuk menyerahkan kepala mereka, termasuk kepala seluruh keluarga mereka. Karena jika menyerahkan kepalasatu keluarga, maka akan mendapatkan bonus penggatian yang lebih besar.
Aparat pemerintah yang melakukan pengumpulan memisahkan antara kepala laki laki, perempuan dan juga anak-anak.
“Tenanglah, hanya kepala kalian yang terpisah. Tubuh kalian kan masih tetap bisa berjumpa. Ini hanya untuk memudahkan pembangunan jalan. Kepala laki-laki yang lebih kuat tentu akan diletakan di jalan utama, sedang untuk wanita dan anak-anak ditempatkan di taman atau tempat lainyang lebih ringan beban lintasannya.”
Kepala-kepala itu mengangguk tanda setuju. Setelah selesai tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali ke rumah masing-masing, membawa tas penuh berisi uang.
***
Pembangunan dimulai. Hotel -hotel dan gedung lain telah berdiri sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pembangunan ini diharapkan dapat mengundang para turis untuk mengunjungi negara ini.
Kepala para warga mulai dijejerkan sepanjang jalan. Mereka tetap terlihat menikmati ketika beton dan aspal diletakkan di atas kepala.
Saat ini ada perasaan bangga karena mereka telah menjadi pendukung pembangunan negara.
Tubuh-tubuh tanpa kepala mulai dapat menikmani pembangunan yang telah selesai. seperti yang pemerintah janjikan, mereka akan mendapatkan pekerjaan saat pembangunan selesai. Uang pembebasan lahan yang mereka terima lama kelamaan akan habis tak berbekas, dan mereka tak ingin itu terjadi.
“Well, kalian diterima bekerja di hotel kami. Terima kasih!”
Bule-bule asing pemilik hotel memberikan senyum pada tubuh tanpa kepala yang datang melamar pekerjaan. Pembangunan telah selesai, roda perekonomian pun berjalan. Banyak turis datang sebagai wisatawan. Pemandangan di negeri ini benar-benar membuat mereka takjub.
Gedung-gedung tinggi dengan fasilitas mewah, kanan kiri masih terdapat hamparan luas taman kota yang asri memesona dan yang tak kalah menakjubkan adalah para pekerja yang siap melayani mereka kapan saja tak ada yang memiliki, kepala.
***
“Kita telah dibodohi! Uang pembebasan lahan tak ubahnya air kran yang mengalir ke selokan. Semua harga kebutuhan pokok melangit karena kini negara menggunakan mata uang yang sama dengan bule-bule itu. Dan pekerjaan yang dijanjikan pun sama, bohong. Tak peduli seberapa tinggi pendidikan yang telah kita tempuh, kita tetap menjadi kacung para bule-bule itu. Hanya dengan alasan bahwa kita tidak memiliki kepala. Kembalikan kepala kamiii !!!”
Sebuah tubuh dengan lantang berteriak di salah satu jalan utama. Teriakan itu disambut gemuruh tepuk tangan ratusaan tubuh lain yang berada di belakangnya. Kepala-kepala yang berada di bawah aspal beton ikut berteriak, mereka menuntut kebebasan.
“Ini negeri kami. Kami adalah Tuan Rumah. Pergi kaliaaaann ….”
Derap kaki bergema kencang, pasukan militer siap berhadapan dengan para warga yang berdemo. Tubuh-tubuh tanpa kepala warga sipil terus berteriak.
“Apa kalian akan tetap membela pemerintah yang zolim ini? Bercerminlah. Mereka pun telah mengambil kepala kalian dengan segala tipu daya yang menyesatkan. Dan kini, mereka akan mengadu tubuh kalian dengan tubuh kami. Sadarlah!”
Negara lumpuh seketika. Para bule-bule kembali ke negara mereka akibat tubuh-tubuh tanpa kepala itu kian membabibuta. Jalan-jalan pun telah banyak yang rusak. Tubuh-tubuh itu telah mengambil paksa kepala mereka kembali.
***
“Negara kacau, Yang Mulia. Apa yang harus kita lakukan?”
Laporan Menteri Pertahanan membuatku menelan ludah. Aku sama sekali tak menyangka bahwa hal ini akan terjadi.
“Kerusuhan sudah merembet ke setiap daerah. Investasi telah tercabut semua. Negara ini akan miskin.”
Menteri Perekonomian membacakan hasil analisanya.
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu telah bersatu, menciptakan kekuatan yang sama sekali tak terbendung. Pasukan keamanan negara pun ikut mendukung mereka. Hilanglah sudah semua mimpiku untuk mengembalikan modal yang kukeluarkan dulu.
“Bolehkah hamba menyampaikan pendapat, Yang Mulia?”
BACA JUGA: Bangkrutnya Surau Kami
Menteri Sosial membuyarkan pikiranku.
“Sudahi semua ini. Apakah Yang Mulia tidak ingin berdiri sendiri? Negara kita bisa menjadi negara maju walau tanpa mereka. Negara kita kaya rayaasal kita dapat mengelolanya dengan baik.”
Aku termenung. Mencoba mencerna kata-katanya. Negara Adidaya itu memang benar-benar telah menguasai segala sektor.
Tak lama ponsel pribadiku berdering, tertera nama istriku di sana.
“Para penduduk telah mengambil paksa kepala mereka masing-masing. Bisakah aku meminta kepalaku kembali, Suamiku?”
Aku terdiam.
“Kami pun ingin kepala kami kembali, Yang Mulia!”
Tubuh para anggota rapat ini serentak berdiri. Membuat diri ini sadar bahwa telah ada suatu kesalahan dan inilah saat untuk memperbaiki semuanya.
“Baiklah. Kita ke gedung Pangkalan Militer. Kita ambil kembali kepala kita yang menjadi penyangga lantai di sana.”
Tubuhku memimpin di depan.
Aku pun sudah sangat merindukan kepala yang selama ini terpisah jauh dariku. []