Oleh: Mawar Dani
Pegiat tulis berdomisili di Asahan
BERWAJAH manis, sudah selesai kuliah ditambah berasal dari keluarga terpandang. Wanita mana yang tidak kepincut dengannya. Begitupun aku. Meski tidak bisa disebut sering namun pertemuan itu rutin dilakukan dalam arisan keluarga.
Kami anak-anak yang berasal dari orangtua yang menjabat sebagai kepala seksi di sebuah instansi pemerintahan. Untuk tetap menjalin ukhuwah maka arisan keluarga yang rutin diadakan tiap awal bulan menjadi pilihan agar hubungan tetap terjalin dengan baik.
Aku single begitupun dia. Sering bertemu tanpa membawa pasangan masing-masing sehingga semacam jembatan yang menghubungkan dua hati bersatu.
Babak Baru Dalam Hidupku
Keakraban itu ternyata dapat dicium oleh orangtua kami. Keluarganya sebagai pihak pria lebih dahulu mengutarakan ini. Me-ni-kah. Tujuh bulan rasanya sudah cukup melihat kekompakan kami tiap kali bertemu.
Sebagai wanita, apa yang aku tunggu. Dia dan keluarganya dari keturunan yang baik-baik, terlebih ayahku yang sudah sangat kental bersahabat dengan ayahnya.
Perencanaan berjalan mulus. Pesta pernikahan yang cukup mewah. Hajatan orang yang berkuku seperti magnet yang menarik setiap undangan untuk mengharuskan dirinya hadir di sana; begitu istilah mereka.
Ini dunia mimpiku. Menikah di usia dua puluh tiga saat telah selesai kuliah. Menikah dengan seorang lelaki dari keluarga terpelajar. Sempurna; mungkin.
Seminggu resmi menyandang status sebagai seorang istri, aku langsung diboyong ke rumah yang telah disediakan orangtuanya. Masih dalam bayangan bahagia, ini pertanda baik karena aku tidak mengalami masa menikmati pondok mertua indah. Di samping itu, percekcokan dengan ipar perempuan pasti bisa dihindari.
Masalah Kemudian Muncul
Aku tahu jika suami bekerja sebagai wiraswasta. Punya usaha kecil-kecilan yakni toko sembako. Aku tak pernah menuntut dia untuk menjadi PNS seperti kedua orangtua kami yang berstatus abdi Negara. Menjadi bos bagi diri sendiri adalah pilihan tepat.
Lima bulan berlalu …
Suami yang kukenal penuh tanggung jawab kini mulai berubah. Sering main bersama temannya walau pun sekedar nongkrong di simpang jalan. Mungkinkah karena kami tinggal di sebuah perkampungan sehingga tertular dengan kebiasaan pemuda yang tidak punya aktivitas? Entahlah.
Toko menjadi terabaikan, sementara aku sudah mengandung buah cinta kami. Tentu ini menjadi beban buatku di tengah kondisi berbadan dua. Pilu dan menyedihkan. Kelakuan suami yang kembali seperti remaja membawaku pada suatu kenyataan hidup entah apa aku pantas menyebutnya. Jatah belanja bulanan pun beralih tanggung jawab pada mertua. Setiap minggu aku menerima sekian ratus ribu untuk memenuhi kebutuhan hidup termasuk nutrisi bagi si jabang bayi. Aku malu!
Aku memahami kalau selama ini mertua tak pernah berat hati menanggung semuanya. Entah karena anak yang kukandung berjenis kelamin laki-laki seperti yang dibanggakannya akan menjadi penerus marga ataukah memang benar sayang kepadaku yang bukan dianggap sebagai menantu melainkan seperti anak sendiri. Entahlah.
Malaikat kecilku
Wajah mungil itu mampu meluluhkan segala kesedihan yang selama ini kupendam. Tangisnya yang membangunkan malam panjangku menjadi cerita tersendiri sebagai wanita dengan status baru; ibu.
Aku lebih memilih melahirkan Azzam di rumah orangtuaku. Meski malu karena lagi-lagi biaya itu bukan ditanggung suami, tapi aku lebih tenang. Bagaimana pun orangtuaku pasti lebih tulus mengasihi.
Doaku memang terkabul tapi terlupa akan satu hal, aku lupa meminta suami yang bertanggung jawab. Kupandangi seluruh bagian tubuh anaknya, semua lengkap dan sempurna. Itu caraku mensyukuri hidup ketika semua seakan mengecewakan. Mendekap hangat jagoan dan separuh hidupku.
“Jadilah lelaki yang bertekad kuat mengemban tanggung jawab keluarga, Nak,” bisikku setiap waktu. Semoga menjadi doa yang ma’bul.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya,” (HR Bukhari & Muslim). []