MAMA Neng berbagi cerita kepada guru-gurunya kemarin.
Suatu hari Neng dibawa ke sebuah toko roti di kota itu. Neng senang sekali. Neng adalah anak yang memakai alat bantu dengar. Bicaranya pun masih belum jelas. Usianya 7 tahun sekarang. Beberapa hari kemudian Neng bicara kepada mamanya. Namun sang mama tak kunjung paham. Neng tak putus asa, ia mengambil kertas dan pensil lalu menggambar sebuah kincir.
Mama Neng masih tak paham apa maksud putrinya. Sore hari Papa neng tiba di rumah. Melihat gambar itu, Papa bertanya pada mama, “Gambar siapa itu?”
“Gambarnya Neng, Pa. Mama gak ngerti dia ngomong apa, lalu dia buat gambar kincir itu,” seru Mama.
“Oh, mungkin Neng mau roti, Ma. Coba bawa dus bekas roti yang kemarin, kita tanya Neng,” tukas Papa.
Tak lama kemudian mereka berdua mendekati Neng dan bertanya, “Neng mau beli roti ini?”
Neng mengangguk-angguk.
Akhirnya Papa Mama mengerti maksud Neng.
Saya terharu mendengar kisah itu. Tak terbayangkan betapa akan putus asanya Neng. Mamanya saja hampir-hampir kesulitan memahami apa yang dia inginkan. Namun ketika orang di sekitarnya tak memahami apa yang diucapkannya, Neng tak berhenti di sana. Ia tak berputus asa. Ia mampu menemukan cara. Mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Ia menggambar sesuatu. Komunikasi non verbalnya terbangun.
Saya pun teringat saat hari pertama Mama Neng datang. Mama Neng membawa surat rekomendasi dari SLB kota itu. Hari itu dengan sejumlah keraguan saya menerima Neng bersekolah di sini. Dia anak didik istimewa kami yang pertama. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki sekolah, kami berusaha membantu membangun semua domain perkembangannya. Membantu anak mampu menolong dirinya sendiri. Mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan benar. Bukan hanya menjejali mereka dengan sejumlah materi. Materi yang entah kelak ia butuhkan atau tidak.
Seperti kata Holt (1964), “Kita tidak mengetahui pengetahuan apa yang paling diperlukan anak di masa depan, oleh karena itu, tidak ada gunanya untuk mengajarkan sekarang. Sebaiknya kita membantu anak sekarang untuk makin mencintai dan makin pandai belajar sehingga dapat belajar segala sesuatu pada saat membutuhkan.”
Guru maupun orangtua hendaknya membuat anak belajar dengan penuh kegembiraan dan dalam suasana yang sangat menyenangkan. Apabila anak-anak merasa tertekan, kecewa, sedih atau marah, maka mereka tidak akan dapat belajar. Menurut teori-teori yang lahir dari hasil penelitian perkembangan otak, otak pusat berpikir manusia tidak akan bisa berfungsi jika dalam keadaan emosi negatif.
Anak-anak bukan benda yang tak berdaya atau sesuatu yang tidak mengerti apa-apa. Anak-anak tidak boleh diperlakukan sebagai objek. Jika anak-anak ditempatkan sebagai subjek maka hal ini dapat membuat semua potensi kecerdasannya bisa terbangun.
Mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kreatif. Semua anak sudah Allah ciptakan dengan sejumlah potensi. Tergantung kita orangtua dan gurunya, mau membangun potensi yang sudah Allah beri atau malah sebaliknya. Kitalah yang menghancurkannya.
Pilihan ada pada kita para guru dan orangtua. []