Oleh: Aditya Budi
Penikmat Islamic Studies
adityabudi82@gmail.com
MENYEMPURNA dalam separuh agama dengan dicumbui doa-doa sembari berharap bahwa ikrar akad melanggeng hingga akhir hayat. Demikian mimpi-mimpi tiap insan yang tengah berbunga musabab telah legal formalnya ikatan cinta mereka baik pada hukum langit (syariah) maupun bumi (hukum negara).
Sebagaimana didamba oleh khalayak ramai bahwa berumah tangga adalah fitrah setiap manusia. Setiap dari diri kita pastinya akan selalu menginginkan pasangan hidup yang ideal. Tentu ideal menurut perspektif kita masing-masing.
Penuh syukur bagi mereka yang mendapatkan kriteria pasangan yang diimpikan. Namun tidak pula menjadi sebuah kemalangan jika nantinya pasangan hidup kita tak sesuai kriteria ideal yang kita dambakan.
BACA JUGA: Istri Tak Bahagia dalam Pernikahan, Ini Dia 5 Tandanya
Maka menikah adalah soal persiapan segala hal, bukan hanya kemampuan ekonomi, kedewasaan diri tapi juga kesiapan psikis (mental), menerima perspektif yang berbeda dan belajar memahami kekurangan dari pasangan kita.
Cinta Harus Tetap Bermekaran
Banyak yang bilang bahwa kuncup cinta yang tengah bermekaran hanya ada di bulan-bulan awal pernikahan, setelahnya putik bunga itu mulai gugur mengering dan berjatuhan. Beverly Nichols, seorang penulis kenamaan Inggris, ia pernah berucap bahwa “Pernikahan adalah laksana sebuah buku yang bab awalnya ditulis dalam bentuk pusi kemudian bab-bab selanjutnya berbentuk prosa”.
Namun benarkah demikian? Padahal dalam tradisi masyarakat muslim bisa jadi cinta itu sendiri akan tumbuh (buah) dari pernikahan. Sehingga ia menikah bukan karena adanya cinta terlebih dahulu (karena belum saling kenal) melainkan sebaliknya.
Cinta bisa datang terlebih dahulu atau bisa ditumbuhkan di kemudian hari seba’da akad. Sebuah pernikahan haruslah dibangun di atas pondasi yang suci nan kuat. Tak dibenarkan bagi siapapun yang menikah hanya karena untuk pemuasaan syahwat cinta semata.
Karena Islam sejatinya menempatkan sebuah peristiwa pernikahan sebagai mitsaqan ghalidzan – ikatan yang kuat, kukuh, dan suci atas nama Allah – yang hanya disebut tiga kali dalam Al-Qur’an, dua yang lainnya berkaitan dengan ikatan tauhid antara nabi dan Tuhan-Nya.
Dengan itu maka sudah selayaknya bahwa pernikahan adalah sesuatu yang harus dijaga sedemikian kuat dan diharmoniskan lengkap dengan segala bumbu-bumbu suka dan duka serta canda dan lara di dalamnya.
BACA JUGA: Tidak akan Ada Jodoh yang Tertukar
Dengan menikah bukan lantas cinta untuk tak jadi romantis, justru karena menikah cinta itu akan berevolusi dalam lekuk mesra yang lain sebagaimana Rasulullah saw teladankan. Maka merawat cinta dan berniat untuk saling mengakar, tumbuh lantas mekar adalah sebuah keniscayaan bersama.
Bukan Dengan Malaikat Kita Menikah
Hal yang sefitrahnya dipahami bahwa kita semua menikah dengan manusia bukan dengan malaikat. Seideal apapun pasangan kita akan selalu ada kurang dan cela yang melekat padanya. Lantas bagaimanakah sebuah rumah tangga terlebih pasangan yang baru menikah berdapatasi.
Sejatinya apapun kondisi pasangan hidup kita maka itulah takdir terbaik pilihan-Nya. Barangkali kita akan menemui sejumlah hal yang tak kita sukai yang sebelumnya tak kita ketahui. Namun bukankah kita bisa memilih untuk menghebatkan banyak kelebihan yang dimiliki pasangan kita dan mengecilkan kekurangannya. Selama kelemahan dan kekurangan itu tidak melanggar syariat dan nilai etika di masyarakat maka kita bisa memafhumkan.
Ingatkah kita akan kisah sahabat Khalifah Umar bin Khatab r.a, ketika datang seorang yang ingin mengadu keluh kesah keluarganya (istrinya). Ia datang di saat yang bersamaan orang tersebut mendengar Sang Khalifah tengah dicurhati – sebagian sirah mengungkapkan sedang dicurhati dengan kata-kata kasar – oleh istrinya lantaran lelahnya sang istri khalifah mengurus urusan rumah tangga.
Dan Umar memilih diam mendengarkan segala curhatan istrinya. Singkat cerita, apa kata Umar atas sikap diamnya saat itu kepada sang istri “Aku tabah dan sabar menghadapi yang demikian karena ia menunaikan kewajiban-kewajiban dengan baik. Dia telah memasakkan masakan untukku, dialah yang membuatkan roti untukku, mencuci pakaianku, menyusui anakku, padahal itu bukan kewajiban sepenuhnya”.
BACA JUGA: Menikah Itu Menyempurnakan Setengah Agama, Apa Maksudnya?
Sehingga semangat yang harus disemai adalah rasa untuk senantiasa ingin memahami bukan ingin dipahami, berusaha untuk mengerti bukan ingin dimengerti dan penuh tulus untuk ingin membahagiakan bukan ingin dibahagiakan.
Jika masing-masing bersikap demikian sudah dipastikan rasa kesalingpengertian akan bermekaran sebaliknya rasa mengeluh dan penuh cela akan berguguran. Bukan dengan malaikat kita menikah yang digambarkan serba sempurna melainkan dengan manusia yang melekat ketidaksempurnaan dalam dirinnya.
Syukur dalam setiap kelebihan sudah semestinya namun bagaimana jika kita bersyukur atas setiap kekurangannya. Bersyukur artinya memaknai bahwa di balik semua itu ada hikmah-hikmah tersembunyi yang mampu membuat kita menjadi pribadi lebih dewasa dalam hidup.
Mengenal Keluarga Adalah Memahami Pasangan
Jika seorang pasangan suami istri yang baru saja menikah tinggal secara terpisah, yang artinya mandiri tidak bersama salah satu orang tua mungkin akan lebih mudah untuk beradaptasi karena memungkinkan untuk terjadinya proses adaptasi yang lama.
Hal berbeda ketika kita yang memilih atau harus tinggal – karena alasan satu dan lain hal – bersama dengan mertua, entah suami atau istri. Maka proses adaptasi mau tidak mau harus dilakukan secepat mungkin. Belajar memahami bahwa tak jarang akan ada sedikit intervensi dari mertua baik secara langsung maupun tidak.
Sering kita dengar bahwa pernikahan bukanlah cuma mempertautkan dua insan namun juga pertemuan antara dua keluarga. Menikahi pasangan kita artinya kita juga siap “menikahi” keluarganya. Maka belajar mengenal keluarga pasangan kita lebih dekat artinya juga kita tengah memahami lebih dalam tentang siapa pasangan kita sebenarnya.
BACA JUGA: Sedang Nunggu Jodoh? Yuk Simak, Kata-kata Mutiara dan Nasihat Ini
Kita harus menerima secara utuh apapun kondisi keluarganya dengan segala latar belakangnya. Kita jadi mengetahui bagaimana pasangan kita dididik oleh orang tuanya, bagaimana ia menjadi seorang pribadi yang kita nikahi saat ini.
Terlepas dari itu semua, untuk yang tinggal bersama mertua, bahwa ada beberapa hal yang mungkin harus disikapi secara tegas dimana tidak selayaknya orang tua mengintervensi keluarga kita (suami-istri). Namun dengan tetap mengedepankan akhlakul karimah baik dengan sikap dan penyampaiannya.
Komunikasi Adalah Kunci
Dalam karya The Transtheoritical Approach, Crossing Traditional Boundaries of Therapy yang dikutip oleh Fauzil Adhim bahwa salah satu sebab ketidakpuasan dalam rumah tangga bersumber dari permasalahan komunikasi.
Di lain waktu rumah tangga juga akan dibumbui percak-percik pertengkaran. Jalaludin Rachmat malah menafsir berbeda soal pertengkarang. Rachmat mengidentifikasi bahwa pertengkaran menunjukan ada “kerinduan” dalam benak masing-masing pasangan untuk menjalin hubungan yang lebih baik.
Demikian juga pasangan yang baru (new couple) tentunya permasalahan seiring berjalannya waktu akan semakin bertambah. Sehingga banyak hal yang harus diceritakan mulai dari hal yang remeh temeh hingga yang besar menjulang. Perlu dipahami hakikatnya komunikasi bukanlah persoalan bicara atau ngomong semata.
BACA JUGA: Lelaki yang Serius Ingin Menikahimu
Barangkali sudah sering kita bicara dengan pasangan kita satu sama lain namun belum tentu di dalamnya mengandung makna komunikasi. Jika sering kita temui sikap saling menyalahkan artinya masih terjadi kegagalan komunikasi dalam sebuah rumah tangga.
Maka komunikasi tidaklah cukup dimaknai sebagai bicara semata, ia lebih dari itu. Komunikasi dengan pasangan kita adalah laku mesra dari hati ke hati baik itu berupa ucap verbal maupun sikap. Menyampaikan segala hal dengan disertai perhatian dan hadirnya hati untuk saling mendengarkan.
Memberi pendapat dan solusi atas setiap permasalahan yang diutarakan pasangan kita. Tidak menganggap bahwa satu permasalahan lebih penting sedang yang lainnya tidak penting lantas tak memerlukan komunikasi.
Tidak demikian, sekecil apapun curhatan, keluh kesah atau cerita bahagia pasangan kita adalah layak untuk kita dengarkan dengan sepenuh hati. Wallahu ’alam bishshawab. []