Oleh: Newisha Alifa
newishaalifa@gmail.com
KEJADIANNYA pada bulan Ramadhan 1435H. Ya, dua tahun lalu. Waktu itu, Palestina kembali bergejolak. Berbagai media pun ramai—lagi—memberitakan kondisi terkini yang terjadi di tanah para nabi itu. Instansi, lembaga, komunitas sosial yang concern terhadap isu-isu kemanusiaan, kembali menggalang dana untuk turut serta membantu rakyat Palestina.
THR baru saja cair. Sebut saja namanya Zahra, seorang gadis yang Allah gerakkan hatinya untuk menyebarkan kabar penggalangan donasi untuk Palestina. Salah satu teman yang didatanginya adalah aku dan Mbak Tuti.
“Mbak, mau ikut nyumbang dana nggak buat Palestina?” tanya Zahra.
“Minimal berapa, Ra?” Aku balik bertanya.
“Terserah Mbak Ririn. Seikhlasnya aja.”
“Zahra nyumbang berapa?” Mbak Tuti bermaksud mencari tahu, pantasnya untuk sumbangan semacam itu berapa? Rata-rata berapa?
Gadis itu hanya terkekeh. “Ada deh, Mbak. Sedikit.”
Ah, aku mengerti. Dia pasti sungkan menyebutkan nominalnya, karena khawatir dikira riya’.
“Ihh! Sama gue aja pake rahasia-rahasiaan segala. Gue cuma mau tahu, biasanya berapa. Kan gue nggak pernah ikutan beginian sebelumnya,” jelas Mbak Tuti. Nada suaranya terdengar mendesak, namun Zahra tak juga menyebutkan jumlah yang ia sumbangkan.
“Nyumbangnya ke mana, Ra?” Kini aku yang bertanya.
Gadis berhijab marun itu memperlihatkan HP-nya ke arahku dan Tuti.
“Mbak Ririn sama Mbak Tuti bisa langsung transfer ke rekening ini aja.”
“Oh, bisa pake I-banking ini mah,” celetukku.
“Hmmm… Gue nggak ada I-banking, Rin. Tapi gue mau nyumbang. Boleh nggak nitip sumbangannya ke elo, nanti gue kasih cash-nya,” ujar Mbak Tuti padaku.
“Oke deh, Mbak!”
Lalu Mbak Tuti menyebutkan sejumlah nominal; dua kali lipat dari jumlah yang hendak kutransfer.
Beberapa saat kemudian, salah satu senior yang biasa dipanggil Bu Juju menghampiri kami yang tengah berkumpul di jam istirahat.
“Ada apa nih rame-rame?”
“Ini, Bu. Mau ikutan nyumbang nggak buat Palestina?” jawab Zahra dengan antusias.
Kedua alis perempuan berusia empat puluh itu seketika naik. Tak berapa lama, komentar mengejutkan pun keluar begitu saja.
“Ya elah! Ngapain sih lo pada nyumbang jauh-jauh ke Palestin? Kenal juga kagak! Kayak di sini nggak ada yang butuh bantuan aja.”
Aku tercengang. Begitu juga dengan Mbak Tuti dan Zahra. Kami bertiga saling berpandangan. Sungguh tak habis pikir, kenapa reaksi Bu Juju sampai seperti itu. Kalau nggak mau ikutan nyumbang, bukan sebaiknya diam saja? Nggak perlu kan ngomel-ngomel begitu?
Beberapa jenak kemudian, Bu Juju pun pergi meninggalkan kami yang masih terpaku di tempat masing-masing.
***
Keesokan harinya, undian produk murah di pabrik kami berlangsung. Barang-barang lama yang harganya masih tinggi di pasaran, diobral oleh pihak perusahaan untuk para karyawan. Ada produk yang harga di pasarnya masih 8-10juta, kini dibandrol cukup dengan 3,4 juta saja. Karena jumlahnya terbatas, makanya diadakan pengundian. Tentunya, aku bersama teman-teman lain turut serta dalam pengundian tersebut.
Tak kusangka namaku, Zahra dan Mbak Tuti termasuk yang mendapatkan mega produk. Yang diskonnya paling berasa dan tahun keluaran produknya juga nggak terlalu lama.
“Ya Allah, Ririiiin… Gue udah belasan tahun gawe di marih. Belum pernah sebelumnya nama gue keluar kalo ada undian semacam ini. Baru kali ini, Rin!” Seru Mbak Tuti dengan mimik wajah tak percaya.
“Masa sih, Mbak?” Aku berusaha memastikan.
“Iya, beneran! Nah elo sama Zahra hoki bener. Baru bentar kerja di sini, udah keluar namanya.”
Aku hanya menyeringai, lalu berkata, “Alhamdulillah, Mbak. Namanya juga rezeki.”
Tiba-tiba Mbak Tuti berkata lagi, “Ah! Ini pasti karena kemarin gue ikutan nyumbang buat Palestin! Iya. Gue yakin. Tuh, Bu Juju namanya nggak keluar sama sekali. Padahal temen-temen kita yang lain namanya pada keluar walaupun beda-beda produk. Bu Juju sih, jadi orang nyinyir aja!”
Aku terhenyak.
Ah, apa iya? Aku nggak kepikiran ke situ.
Kulihat dari kejauhan Bu Juju memandangi kami dengan tatapan sinis. Mungkin dia kecewa karena namanya nggak keluar sama sekali. Hmmm, bodo amat deh. Bukan urusanku.
Mbak Tuti mengeluarkan sejumlah uang dari tasnya.
“Rin, lo masih nyimpen nomor rekening buat donasi ke Palestina kemarin, kan?”
Aku mengangguk pelan.
“Nih! Sekarang juga lo transfer lagi ke sana yah!”
Aku melongo. Maksudnya apa sih? Seolah mengerti kebingunganku, Mbak Tuti langsung menjelaskan.
“Anggap saja ini rasa syukur gue. Nggak ada apa-apanya dibandingkan rezeki yang udah Allah kasih lewat undian ini.”
Masyaa Allah!
Mbak Tuti sepertinya benar. Bukankah siapa yang menolong agama Allah, pasti akan ditolong juga urusannya oleh Allah? Kita memang tak mengenal langsung saudara-saudara kita di belahan bumi Allah lainnya. Tapi jika kita sebut saja: Palestina. Bukankah nenek moyang mereka dulu adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan NKRI? Apakah mereka berpikir, kenal atau tidaknya ketika melakukan hal tersebut?
***
Terinspirasi dari kisah nyata, yang penamaan tokoh-tokohnya diubah. []