Oleh: Enzen Okta Rifai, Lc
Alumni Perguruan Tinggi International University of Africa (Sudan)
enzenoktarifai@gmail.com
KRITIKAN Friedrich Nietzsche terhadap institusi gereja (Kristen) mungkin sepadan dengan pedasnya kritikan Karl Max selaku bapak sosialisme dunia. Namun, pandangan negatif mereka terhadap ajaran agama yang dinilai tak sanggup menyelesaikan persoalan-persoalan vital kemanusiaan, nampaknya tidak berlaku pada ajaran Islam. Nietzsche bahkan menilai, bahwa Muhammad adalah tokoh pembaharu peradaban manusia yang memiliki kharisma unik dan menarik.
Kita bisa cermati buku “Nietzsche Berdamai dengan Islam” karya Ian Almond (2007), bahwa di dalam Islam terkandung nilai-nilai ajaran yang menegaskan pentingnya perjuangan, serta pembelaan terhadap hak-hak kaum lemah (budak) yang termarjinalkan. Dalam ajarannya, terkandung pula usaha-usaha manusia yang memperkuat dan mengelola dirinya agar terbebas dari penindasan dan perbudakan.
Dalam buku tersebut, terungkap lembaran surat yang ditulis Nietzsche, ketika ia menyampaikan impian dan cita-citanya kepada sahabat karibnya, Heinrich Köselitz: “Ingin sekali saya mencoba untuk hidup di tengah-tengah kaum muslimin, menelusuri seluk-beluk peradaban mereka, hingga membuat pandangan saya semakin tajam tentang masyarakat Eropa.”
Dalam buku yang ditulis Siegfried Mandel, “Nietszche and the Jews” (1998), terungkap pemikiran Nietzsche yang lebih cenderung pada ajaran Muhammad ketimbang Yesus Kristus. Baginya, perjalanan hidup Muhammad lebih natural dan masuk akal ketimbang perjuangan yang ditempuh Yesus. Teladan Muhammad mampu memberikan semangat dan pengaruh yang sangat luas, sampai kemudian Mandel menyimpulkan, bahwa Nietzsche sebagai filosof Jerman yang juga menelurkan mazhab Frankfurt, tentu lebih condong pada nabi keturunan Arab ketimbang keturunan Yahudi.
BACA JUGA: Medsos dan DNA Kaum Inlander
Apresiasi Nietzsche terhadap Islam akan tergambar jelas pada pemikiran murid-muridnya, di antaranya Michel Foucault dan Jacques Derrida. Mereka berpendapat, bahwa misi perjuangan Muhammad sangat rasional dalam menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Agama yang dibawanya sangat menekankan pentingnya ikhtiar dan usaha pribadi dan kelompok untuk menggugat kesewenangan dan ketidakadilan. Hal ini senada dengan konsep Ubermensch (Nietzsche), bahwa pengertian menjadi “superman” tidak lantas diartikan dangkal belaka. Akan tetapi, manusia harus percaya pada kekuatan ikhtiarnya untuk memenangkan prinsip-prinsip keadilan yang seringkali dikerdilkan oleh pihak penguasa.
Nietzsche beranggapan bahwa kebanyakan manusia Eropa, sejak abad pertengahan, lebih bertumpu pada keimanan yang melumpuhkan daya nalar dan akal sehatnya. Manusia harus melepaskan hambatan dari pengaruh mitos dan takhayul yang mengikatnya. Ia menganggap agama dan institusi gereja telah menjadi penghambat dalam tahapan perkembangan manusia kepada nilai-nilai kemanusiaannya. Ketika belenggu itu bisa dilepaskan, manusia akan menjadi sosok final yang memiliki kemerdekaan jiwa.
Di sisi lain, Nietzsche bercita-cita ingin hidup di tengah kalangan muslimin di Timur Tengah. Meskipun rencana ini belum terwujud, namun setidaknya ia ingin membuktikan, apakah karakteristik mayoritas muslim (dan pemimpinnya) akan berbeda dengan mayoritas Kristen di Eropa, yang menurutnya telah banyak memanfaatkan agama sebagai alat pembonceng untuk melakukan manipulasi dalam mengendalikan pikiran manusia?
Jika kita membaca jejak-langkah perjalanan hidupnya, nampak sekali dialami oleh Nietzsche ketika beranjak dewasa, terutama saat ia mengirim surat kepada adiknya Elisabeth (1865), serta terang-terangan menyatakan penolakannya memasuki seminari gereja. Dalam surat tersebut, ia menyebutkan nama “Mahomet” yang pantas dijadikan teladan sebagai juru selamat, dan bukanlah Yesus Kristus.
Nampak adanya kekeliruan pada penulisaan ejaan “Muhammad”, sebagaimana banyak penulis yang sering keliru menuliskan kata “Nietzsche”. Tapi, dalam keseluruhan isi surat, nampak jelas bahwa yang dimaksudkan Mahomet tak lain sebagai sosok legendaris, Sang Nabi terakhir yang datang dari gurun kering di tanah Arab. Ia mengakui, meskipun dirinya bukan penganut agama Islam, tapi dalam kalimat berikutnya dinyatakan bahwa ia adalah seorang “Mahometism”.
Kritikan-kritikan Nietzsche yang tajam terhadap tradisi Kristiani, bahkan terhadap para filosof Kristen di Eropa, khususnya tentang agama dan moralitas, seakan telah mencapai titik terangnya ketika ia menelusuri sejarah hidup Muhammad sebagai sosok pejuang independen.
Kita mengenal corak filsafat Nietzsche yang identik dengan filsafat perspektivisme. Konsekuensinya, Nietzsche dianggap pemikir yang konsisten dalam menyerang kebijakan-kebijakan puritanisme agama, bahkan menganggap agama hanya mengajarkan tindakan destruktif kepada penganutnya. Sehaluan dengan kritikan Karl Marx yang menganggap agama sebagai “opium”. Meskipun, Marx tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa konsep “sosialisme” yang diajarkannya sangat identik dengan perjuangan Muhammad dalam membela harkat dan martabat manusia yang dimarjinalkan oleh sistem kekuasaan.
Di sisi lain, Nietzsche justru memparalelkan posisi Muhammad dengan filosof Plato. Konsep reformasi yang dicanangkan Muhammad di Jazirah Arab sejalan dengan konsep pemikiran Plato di wilayah Yunani. Lebih tendensius, Nietzsche menilai bahwa Muhammad adalah seorang pembaharu yang mengajarkan nilai-nilai humanitas, bahkan mengajarkan pentingnya kemerdekaan atas hak-hak individu.
BACA JUGA: Karakteristik Setan
Dapat dipahami pemberontakan pemikiran Nietzsche yang amat vokal menentang konservatifisme agama di Eropa. Terutama ketika tradisi dan budaya Eropa sangat tergenangi iklim totaliter yang banyak diprakarsai agamawan yang berkolaborasi dengan rezim penguasa beserta tuan tanah sebagai kompradornya.
Ia menilai bahwa umat Islam-lah yang pantas dijadikan sekutu untuk mendobrak segala dusta dan kemunafikan itu. Karena menurutnya, ajaran-ajaran Islam dianggap sebagai “penengah” yang menjembatani kemerdekaan individu, bahkan kebebasan masyarakat untuk mengimani sosok pemimpinnya yang memberi teladan kebaikan dan kebijaksanaan.
Tapi tentu saja, yang dimaksudkan Nietzsche, bukan “orang Islam” yang seenaknya memenfaatkan agama sebagai alat pembonceng untuk melakukan manipulasi demi kepentingan politik kekuasaan. Sebab kalau begitu, apa bedanya Islam yang berkembang di Indonesia, dengan tradisi Kristen ortodoks yang hidup di abad pertengahan lalu? []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.