ADA yang bertanya tentang hukum nikah dengan niat cerai (talak). Apakah boleh nikah dengan niat cerai? Sebagian ulama ada yang membolehkan, sedangkankan yang lain tidak membolehkan.
Bentuk pernikahan seperti ini (nikah dengan niat cerai) agak samar hukumnya karena sekilas mirip dengan nikah mut’ah ala sekte Syi’ah. Tapi jika dicermati, hakikatnya berbeda.
Nikah mut’ah, yaitu sebuah pernikahan dengan kesepakatan untuk waktu tertentu saja, baik waktunya telah ditentukan secara jelas atau majhul (tidak tertentu) misalnya tiga hari atau satu minggu, atau satu musim haji dan seterusnya.
Jika waktu kesepakatan telah habis, maka secara otomatis terjadi perpisahan tanpa adanya talak (cerai). Model pernikahan seperti ini menjadi salah satu ciri khas kelompok Syi’ah.
Bahkan dalam keyakinan mereka, hal ini merupakan bagian dari syari’at/ibadah. Semakin sering melakukan mut’ah, maka akan semakin mulia di sisi Allah. Na’dzubillah.
BACA JUGA: Jadi Gemuk Setelah Nikah?
Dalam syari’at Islam, jenis pernikahan semacam ini (nikah dengan niat cerai) hukumnya haram. Memang nikah mut’ah sempat dibolehkan di awal-awal Islam, akan tetapi setelah itu diharamkan sampai hari Kiamat.
Walaupun lebelnya “nikah”, tapi hakikatnya suatu perzinaan. Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani dari babaknya, sesunggunya Nabi telah bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk istimta’ (nikah mut’ah) dengan wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari Kiamat.”[HR. Muslim].
Imam An-Nawawi – rahimahullah – (wafat : 676 H) berkata :
ثَبَتَ أَنَّ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ كَانَ جَائِزًا فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ ثَبَتَ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمَذْكُورَةِ هُنَا أَنَّهُ نُسِخَ وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يُخَالِفْ فِيهِ إِلَّا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُسْتَبْدِعَةِ
“Telah valid, sesungguhnya nikah Mut’ah pernah dibolehkan di awal-awal Islam, kemudian telah valid pula berdasar hadis-hadis yang shahih yang telah disebutkan di sini, sesungghnya hal itu telah dihapus dan telah terjadi konsensus ulama akan pengharamannya. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal ini kecuali sekelompok dari ahli bid’ah.”[Syarah Shahih Muslim : 9/179].
Adapun seorang yang menikah dengan memenuhi syarat dan rukunnya, akan tetapi dalam hatinya dia meniatkan untuk cerai dalam kurun waktu tertentu yang dia inginkan tanpa dipersyaratkan dalam akad, maka para fuqaha telah sepakat akan kebolehannya. Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) menyatakan :
قَالَ الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّتُهُ أَنْ لَا يَمْكُثَ مَعَهَا إِلَّا مُدَّةً نَوَاهَا فَنِكَاحُهُ صَحِيحٌ حَلَالٌ وَلَيْسَ نِكَاحُ مُتْعَةٍ وَإِنَّمَا نِكَاحُ الْمُتْعَةِ مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُورِ وَلَكِنْ قَالَ مَالِكٌ لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاقِ النَّاسِ
Nikah dengan Niat Cerai, Boleh?
“Imam Al-Qadhi (Iyyadh) menyatakan : Para ulama sepakat, sesungguhnya seorang yang menikah secara mutlak (lepas tanpa adanya syarat cerai di dalamnya), dan dia niatkan hanya untuk beberapa waktu sesuai yang dia niatkan bersama wanita tersebut, maka nikahnya sah dan halal, bukan termasuk nikah Mut’ah.
Adapun nikah Mut’ah (ala Syi’ah) hanya terjadi dengan adanya syarat (cerai dalam waktu tertentu yang dimasukkan dalam akad) sebagaimana telah disebutkan. Akan tetapi imam Malik menyatakan : Ini bukan termasuk akhlak manusia (yang baik). [Syarah Shahih Muslim : 9/182].
BACA JUGA: Setelah Nabi Wafat, Semua Istrinya Dilarang Menikah Lagi
Walaupun hal ini (nikah dengan niat cerai) boleh, tidak sepantasnya seorang muslim untuk melakukannya. Karena pernikahkan bukanlah perkara main-main. Akan tetapi suatu janji ikatan nikah yang memiliki tujuan-tujan yang mulia.
Selain itu, juga harus mempertimbangkan kondisi psikis wanita yang dinikahi serta anak-anak yang terlahir darinya (jika sampai punya anak).
Cerai itu walaupun boleh, tapi termasuk perkara yang dibenci oleh Allah. Sangat tepat jika imam Malik menyatakan bahwa hal itu bukan termasuk akhlak manusia. Pelajarannya, tidak setiap hal yang hukumnya boleh pantas untuk dilakukan karena alasan kemanusian. Wallahu a’lam. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani