DI masyarakat kita, dikenal istilah nikah di bawah tangan. Apa artinya?
Pada dasarnya yang dimaksud dengan nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan orang-orang Islam Indonesia dan memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan di Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Jadi, pernikahan jenis secara materiil sebenarnya sah bila telah memenuhi persyaratan perkawinan menurut Hukum Syariat Islam. Hanya saja secara formil yuridis tidak memenuhi persyaratan ketentuan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksananya, yaitu tidak dicatatkan di Pejabat Pencatat Nikah. Sehingga, bisa dianggap tidak sah atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan.
Pencatatan pernikahan itu cukup penting. Terutama untuk pihak wanitanya. Untuk jual beli/hutang piutang saja, Islam menyuruh kita melakukan pencatatan, apalagi untuk hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang lebih penting lagi. Ini untuk perlindungan hukum semua pihak, terutama istri dan anak-anak.
Pencatatan tersebut dapat dijadikan suatu bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai antisipasi adanya ketidakjelasan di kemudian hari (syarat tawsiqy). Misalnya mengenai asal usul anak, harta bersama, wali nikah, warisan, pemberian nafkah iddah, atau nafkah anak (jika terjadi perceraian), juga untuk menghindarkan kesewenang-wenangan suami.
Dalam peraturan hukum di Indonesia, selain peraturan perundang-undangan yang mengatur keharusan mencatatkan pernikahan (yang dengan pencatatan ini akan dikeluarkan bukti Akta Nikah), ada pula ketentuan yang mengatur mengenai isbat nikah (permohonan pengakuan secara administratif).
Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat dimintakan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Permintaan isbat nikah ini sangat terbatas, yaitu yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan, adanya keraguan terhadap sahnya salah satu syarat perkawinan, perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974.
Bagaimana jika terjadi perceraian dalam kondisi nikah di bawah tangan? Bagi si istri, dalam rangka menyelesaikan perceraiannya agar mendapatkan hak-haknya sebagai istri (misalnya hak atas nafkah iddah, hak atas nafkah anak, ataupun hak atas harta bersama), maka ia bisa mengajukan permohonan isbat nikah terlebih dahulu ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya. Setelah itu baru ia mengurus perceraiannya dan memperjuangkan hak-haknya sebagai istri (yang di talak oleh suami).
Nah, jika tidak ada alasan yang jelas yang dapat menghalangi pernikahan, sebaiknya segeralah mencatatkan pernikahan. Hal ini untuk kepentingan kita juga.
Ada banyak faktor penghalang untuk mencatatkan pernikahan. Ada yang karena alasan kontrak mensyaratkan tidak boleh menikah selama megikuti pendidikan atau ikatan dinas. Tapi, tidak jarang karena salah satu pihak (biasanya suami) pada saat yang sama masih terikat pernikahan dengan orang lain dan tidak/belum mendapatkan izin untuk melakukan pernikahan berikutnya. Kalau harus dicatatkan juga, sementara tidak mendapatkan izin untuk menikah lagi, maka kemungkinan yang dilakukan adalah penggelapan data. Hal ini justru akan memperberat masalah. Ini bisa kena tindak pidana. []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta