TANYA: Apa hukumnya jika terjadi perzinahan antara orang yang mau menikah, karena sudah lamaran? Keduanya kemudian dinikahkan oleh orang tua. Perlu diketahui bahwa pernikahan dilakukan di bulan ke-4 dan bayi dilahirkan di bulan ke 9. Artinya, ketika menikah, si wanita sudah mengandung selama tiga bulan? Terima kasih.
JAWAB: Kami kutip dari islamqa.ca., jika seorang laki-laki berzina terhadap seorang wanita dan hamil olehnya, dia tidak boleh menikahinya sebelum wanita tersebut melahirkan dan keduanya bertaubat kepada Allah Ta’ala. Sebagian ahli fiqih membolehkan melakukan akad pernikahan dengan seorang wanita yang hamil olehnya, tapi tidak boleh menggaulinya. Sebagian lainnya membolehkan akad dan menggaulinya. (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, 19/337)
Karena pernikahan telah terlaksana, jika sang isteri melahirkan pada usia pernikahan enam bulan ke atas, maka nasab sang anak diberikan kepada sang bapak dan tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan li’an. Jika dia melahirkan kurang dari enam bulan usia pernikahan, maka sang anak tidak dianggap nasabnya, sang bapak boleh tidak mengakuinya. Karena usia minimal kehamilan adalah enam bulan. Bolehkah dia nasabkan kepada dirinya?
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, pendapat jumhur adalah tidak boleh baginya menisbatkan sang anak kepada dirinya. Sebagian salaf membolehkannya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah.
Ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa dia boleh mengakui atau tidak mengakui anak tersebut untuk dirinya dengan syarat dia tidak mengatakan bahwa anak itu hasil zina.
Disebutkan dalam kitab ‘Al-Fatawa Al-Hindiyah’ yang merupakan kitab dalam fiqih mazhab Hanafi (1/540), “Jika seseorang berzina dengan seorang wanita, lalu hamil, kemudian dia menikahinya dan melahirkan, jika kelahirannya pada usia pernikahan enam bulan ke atas, maka nasabnya dikaitkan dengannya. Jika kelahirannya kurang dari enam bulan, maka nasabnya tidak dapat diberikan kepadanya, kecuali jika dia mengaku bahwa anak itu adalah anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak itu bukan hasil zina. Adapun jika dia mengatakan bahwa dia adalah anakku dari hasil zina, maka nasabnya tidak dapat diberikan kepadanya dan anak itu tidak dapat mewarisi darinya.”
Jika antara akad nikah dan kelahiran jaraknya enam bulan ke atas, sang suami tidak dapat menafikan sang anak kecuali dengan li’an, tidak cukup pengakuan isteri bahwa mereka berbuat zina.
Li’an boleh dilakukan untuk mengingkari sang anak saja, tapi tidak dapat dilakukan untuk melempar tuduhan kepada sang isteri berbuat zina. Ketika itu, yang melakukan li’an hanya suami, sedangkan isteri tidak lian.
Kedua: Jika sang suami tidak mengakui sang anak dengan li’an, atau tanpa li’an, maka sang anak tidak berhak mendapatkan nafkah dan warisan darinya. Adapun sang isteri, jika dia memiliki mahar yang belum diberikan, maka hal itu tidak gugur hanya karena sang anak tidak diakui, apakah dengan li’an atau dengan selainnya.
Wallahu a’lam. []