SALAH satu sumber kebahagiaan itu adalah menerima takdir yang digariskan oleh Allah dengan ikhlas. Sekaligus menikmatinya dengan lapang dada. Kesempitan dan rasa gelisah bisa saja mencul karena kita tidak terima dengan apa yang terjadi pada diri kita.
Supaya kita bisa menikmati takdir, kita harus melihat orang-orang yang kurang beruntung dibanding kita. Atau kita jangan langsung menganggap orang lain beruntung, padahal bisa jadi orang lain yang kita anggap beruntung tidak merasa bahagia sama sekali. Jangan pernah iri dengan kehidupan orang lain, bisa jadi orang yang kita iri kepadanya, dia pun iri dengan kehidupan kita. Siapa yang tahu.
Kita bisa mengambil pelajaran dari kehidupan sekitar.
Ada yang takdirnya usia 21 tahun sudah menikah, tapi harus menunggu 11 tahun untuk mendapatkan anak. Sementara yang lain harus bersabar menahan gunjingan karena lama mendapatkan jodoh. Kemudian baru menikah di usia kepala tiga, tapi Allah langsung memberinya momongan dan tidak perlu menunggu bertahun-tahun.
Ada yang kaya raya dan sukses di usia muda, tapi meninggal di usia kepala empat, sementara yang lain harus bercucuran keringat dan air mata hingga usia 40 tahun, tapi manfaatnya terasa bagi dirinya dan bagi orang-orang sekitar hingga menjelang usia 80 tahun.
Maka dari itu, nikmatilah takdir kita.
Tidak perlu galau dengan pencapaian orang lain. Takdir kita dengan mereka tidaklah sama.
Ada yang takdirnya berjuang hidup dari sakit yang dideritanya. Sehingga hidupnya tidak lepas dari dokter, rumah sakit dan jarum suntik. Namun ia tak pernah lepas dari dzikir sepanjang hidupnya karena selalu dibayang-bayangi kematian. Sementara kawannya yang sehat wal afiyat sibuk hura-hura dengan kehidupannya, tanpa terbebani rasa sakit justru dijemput malaikat maut terlebih dahulu.
Maka dari itu, nikmatilah hidup kita.
Ada sebagian orang yang beruntung menikmati takdirnya dengan ikhlas, menikmati setiap perjuangan, mengubur jauh-jauh iri dan dengki dan meluaskan kesabaran tanpa batas. Dan tak lupa memohon pertolongan kepada Alloh akan kebaikan di akhir kehidupan.
Sementara sebagian lain sibuk membanding-bandingkan takdirnya dengan takdir orang lain. Kadang menggugat Robb yang mengguratkan takdir tersebut, ”Ya Allah kenapa aku yang harus mengalaminya? Ya Allah, aku sudah tidak kuat, harus sampai kapan aku menanggungnya?”
Kita termasuk yang mana?
Sumber: Ummi