Oleh: Erlies Erviena SE, M.Ag.
erlieserviena@gmail.com
SUATU ketika saya pulang dari kampus dengan menggunakan taxi on line. Awalnya supir taxi menyakan pada saya apakah saya seorang dosen karena mungkin melihat usia saya bisa dikatan sudah tidak pantas untuk disebut sebagai mahasiwi. Mungkin sepatutnya menjadi dosen.
Sang supir agak tercengang ketika saya mengatakan jika saya adalah seorang mahasiswi Ilmu Tafsir Al-Qur’an, dan ternyata dia cukup tertarik untuk bisa menjadi seorang mahasiswa juga seperti saya , hmmm…..
Selanjutnya, seperti biasa tanya jawab seputar keluarga dan anak yang pada akhirnya berujung tentang pengalamnya mempunyai pelanggan seorang wanita setengah tua yang terbilang cukup berada.
Wanita yang diperkira belum lagi menginjak 70 tahun itu sudah menjadi langganan karena hampir setiap minggu untuk melakukan theraphy ke dokter orthophedi. Wanita itu memiliki putra tiga orang yang sudah di biayainya kuliah sampai ke luar negeri. Sekarang Ketiga putranya masing-masing sudah berkeluarga.
Namun, sayang menantunya tidak ada yang memiliki akhlak baik, malah anak-anak wanita itu sudah jarang mengunjungi Ibunya yang sudah tinggal sendiri dan hanya ditemani seorang tukang kebun.
Suatu ketika, wanita itu menangkap pembicaraan salah seorang menantunya yang berniat menitipkannya ke panti jompo. Tentu saja perasaan marah, kecewa berkecamuk menjadi satu dalam perasaan wanita yang sudah melewati paruh baya itu.
Terlebih lagi anak kandungnya mendukung sang istri untuk memasukkan ibunya ke sebuah panti jompo. Terbayang, tentunya tak terbendung air mata pasti mengair deras di pipi wanita yang sudah keriput dimakan usia senja itu.
BACA JUGA: Belajar Ilmu Birrul Walidain dari Seorang Anak Murid
Singkat cerita, wanita itu menghibahkan rumahnya yang senilai 8 miliar itu kepada sebuah yayasan dan ia sudah menyerahkan semua berkasnya pada salah seorang notaris kepercayaannya tanpa sepengetahuan ketiga anak-anaknya, Masya Allah.
Saya yang mendengar kisah itu, tak terasa meneteskan air mata. Tak terbayang jika kejadian itu menimpa pada diri saya, Astaghfirullahal..
Birrul Walidain; Ibu Sendiri Dititipkan ke Panti Jompo
Ada juga juga kisah yang memilukan, seorang ibu yang sudah sepuh, mengantarkan dirinya sendiri ke panti jompo dengan alasan anak-anaknya sudah jarang mengunjunginya lagi, padahal rumah mereka berdekatan. Sangat miris sekali.
Melihat kejadiannya itu, saya berpikir, alangkah mudahnya manusia melupakan jasa orang lain. Terlebih orang tersebut adalah ibu kandung sendiri.
Padahal dalam sebuah Hadits Rasullulah ﷺ, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, mengulang kata “ibu” sebanyak tiga kali untuk dipatuhi. Hadits ini menunjukkan betapa Rasulullah ﷺ menekankan manusia untuk selalu berbuat baik kepada ibunya, karena derajat kemuliaan orang tua yang harus didahulukan untuk dimuliakan adalah ibu, kemudian barulah bapak.
Hal ini disebabkan karena sang ibu telah mengalami kesulitan dan penderitaan dengan menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan ada yang sampai mempertaruhnya nyawa ketika melahirkan anak, menyusui dan mengasuhnya hingga membesarkannya dengan penuh kasih.
Birrul Walidain, Maling Kundang
Saya jadi teringat dengan kisah “Malin Kundang” yang durhaka kepada Ibunya dan dikutuk menjadi batu. Namun, apakah dongeng seperti itu bisa menjadi kenyataan?
Bukankah kita diwajibkan berbuat baik kepada kedua orang tua yang telah melahirkan kita?. Berbuat baik yang menurut Immanuel Kant adalah suatu yang tanpa batas?
Meminjam istilah filsasat Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf berasal dari Konigsberg, yang membedakan antara akal budi (verstand) dengan rasio (vernunft). Bagi Kant, akal budilah yang selama ini difungsikan oleh manusia dalam menanggapi dan memahami sesuatu yang menjadi pengetahuan. Dorongan dari “akal budi” inilah yang memberi kewajiban berupa kebaikan dari diri sendiri, tanpa adanya motif dan dorongan dari berbagai arah.
BACA JUGA: 4 Hal soal Birrul Walidain
Masih menurut Kant, bahwa segala hal yang timbul sebagai akibat dari suatu tindakan atau perilaku tidak memperlihatkan etika yang sebenarnya, sebab masih memandang perlu adanya sebab akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Kewajiban yang menjadi dasar tindakan manusia haruslah menjadi sesuatu yang meniscaya dalam setiap perbuatannya.
Birrul Walidain adalah perbuatan baik anak terhadap kedua orang tuanya sebagai bentuk kebaktian sehingga kedua orang tua mendapatkan kebahagiaan.
Dengan demikian, berbuat baik dilakukan dengan lapang dan dalam kebaikan (ihsan) kepada orang tua dalam hal perkataan, perbuatan, dan niat. Membuat batin kedua orang tua menjadi tentram dan merasakan kebahagiaan dimasa tua, dan selalu mendoakan kedua orang tua baik masih hidup atau sudah meninggal.
Birrul Walidain, Pengertian
Secara istilah, Birrul Walidain adalah berbakti, taat, berbuat ihsan, memelihara keduanya, memelihara dimasa tua, tidak boleh bersuara keras apalagi sampai menghardik mereka, mendoakan keduanya terlebih lagi setelah wafat, dan sebagainya, termasuk sopan santun yang semestinya terhadap kedua orangtua.
Keduanya merupakan pengaruh besar dalam perkembangan seseorang dalam menjalani kehidupan. Memberikan pengabdian dan sikap baik kepada kedua orangtua merupakan suatu keistimewaan setiap muslim.
Sebab, Islam mendorong pemeluknya untuk berbakti kepada kedua orang tua dalam nash-nash Al-Quran dan Sunah Rasulullah.
BACA JUGA: Uququl Walidaini, Pintu Neraka bagi Anak Durhaka
Pengorbanan orang tua dalam medidik anak dan merawat merupakan jasa yang tidak dapat dibalas dengan apapun. Kebaikan seorang anak terhadap orang tua pun tidak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan orang tua.
Untuk itu Allah SWT memerintahkan Untuk berbuat baik kepada orang tua melalui Firman-Nya pada QS. Al-Isra (17): 23, “…jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang…”
Kandungan ayat ini menunjukkan bahwa kaum muslimin memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua dengan kebaktian yang sempurna dengan menjaga mereka sebaik mungkin hingga usia tuanya dengan sikap lemah lembut dan penuh penghormatan.
Senada dengan ayat ini adalah Surat Al-an’Âm ayat 151, yang mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.
Birrul Walidain, Sejak Usia Bayi
Transformasi akhlak Islam dalam diri manusia dimulai sejak usia bayi bahkan sedari masih dalam kandungan ibunya. Kemudian setelah lahir, tumbuh besar melewati fase anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua.
Saya pernah mendengar ceramah salah seorang Ustad di radio Islami, yang mengatakan jika bakti seorang anak (Birrul Walidain) dinilai dari tiga hal, yaitu; pertama, apabila orang tuanya sudah tua dan pikun. Kedua, apabila orang tuanya sudah tak lagi memiliki harta yang banyak. Ketiga, apabila orang tuanya menderita sakit.
BACA JUGA: Satu Tarikan Nafas Ibu saat Melahirkanmu
Ukuran kesabaran dari ketiga hal Birrul Walidain di atas merupakan batu ujian yang harus dilewati oleh seorang anak, jika dia bisa melakukannya dengan sabar dan ikhlas, maka dia lulus.
Sebaliknya jika dia tidak sanggup untuk bertahan, maka dia gagal. Pemahaman yang masuk diakal, sebab jika orang tua masih memiliki segalanya dalam hal fisik (masih muda dan kuat), masih memiliki harta (kedudukan), kesehatan, maka tentunya seorang anak masih merasakan kenikmatan untuk tidak perlu mengurusinya, bahkan kemungkinan anak tersebut masih ditopang oleh orang tuanya karena belum mampu untuk mandiri. []
Jakarta, 7 September 2021