KATANYA, “Fiqih dakwah vs fiqih ahkam”. Sebenarnya, sebelum bicara fiqih dakwah, fiqih ahkam-nya (sebagaimana istilah yang digunakan sebagian warganet) perlu diperjelas dulu.
Misal, ustadz fulan diminta ceramah rutin di majelis taklim bank konvensional. Maka ustadz fulan ini perlu jelas dulu, hukum bekerja di bank konvensional, dan hukum umumnya transaksi di bank konvensional tersebut.
Ringkasnya, mayoritas transaksi muamalah di bank konvensional itu mengandung akad riba dan berbagai muamalah fasidah lainnya. Dan hukum bekerja di bank konvensional haram hukumnya, kecuali pada keadaan tertentu.
BACA JUGA:Â Teka Teki Fiqih 10
Nah, jika “goal” sang ustadz adalah membuat pekerja bank konvensional resign dari pekerjaannya dan pindah ke bank syariah, atau “hijrah” jadi tukang bekam, baru kita bicara fiqih dakwah. (Kalau “goal” sang ustadz adalah amplop atau transferan yang besar, kita tak usah bicara fiqih dakwah lagi).
Fiqih dakwahnya adalah, apakah si ustadz di ceramah pertamanya di sana, sudah langsung bicara haramnya kerja di bank konvensional, atau menyampaikan secara bertahap dulu.
Mungkin bicara dulu konsep umum visi kehidupan seorang muslim, kemudian berbagi cerita umat terdahulu atau generasi salaf tentang komitmen mereka terhadap aturan Allah ta’ala, dan ketika jamaah pengajian sudah dianggap siap, baru sampaikan haramnya kerja di bank konvensional.
Kalau “fiqih ahkam” belum jelas, “goal” juga tidak ada, tapi bicara fiqih dakwah, khawatirnya memang itu hanya ditujukan sebagai pembenaran saja. Penyimpangan yang dicari pembenaran, dengan narasi fiqih dakwah. Ini mungkin cocok untuk kasus pesantren waria, atau majelis taklim yang rutin mengundang “boom sex” tanpa ada upaya serius mengajaknya bertaubat.
Lalu bagaimana dengan kasus “nobar sepakbola timnas di masjid”?
Pertanyaan yang perlu dijawab:
BACA JUGA:Â Keistimewaan Tafaqquh Mengikuti Salah Satu Madzhab Fiqih
1. Hukum bermain sepakbola dengan buka aurat?
2. Hukum hadiah dari pertandingan sepakbola?
3. Hukum menonton sesuatu yang mengandung kemungkaran (jika itu dianggap kemungkaran)?
4. Hukum memfasilitasi nonton bareng (berkaitan dengan poin 3) di manapun tempatnya?
5. Hukum memfasilitasi nonton bareng (berkaitan poin 3 dan 4) di lingkungan masjid (baik di dalam, di teras, di aula, di halaman, di jalan samping, di…)?
6. Hukum mengadakan keramaian (mau perkara munkar ataupun tidak) di luar aktivitas ibadah dan ta’lim di lingkungan masjid?
7. Terkait poin 6, tapi spesifik di ruang induk masjid?
8. Terkait poin 6, tapi spesifik di teras atau aula masjid?
9. Terkait poin 6, tapi spesifik di halaman atau jalan depan masjid?
10. Mewakili rekan-rekan HTI, salafi jihadi dan sebagian salafi secara umum, apa hukumnya memfasilitasi meningkatnya ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatisme kebangsaan)?
11. Terkait poin 10, dan itu diadakan di lingkungan masjid?
12… 13… 14…
Nah, kalau pertanyaan di atas, sudah terjawab tuntas, baru kita bicara fiqih dakwahnya. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara