Kehidupan Thesa Aditya tak lagi sama setelah ayahnya meninggal dunia. Kejadian itu begitu mendadak hingga membuatnya tak bisa percaya. “Dia dulu memang punya sakit gula dan darah tinggi. Tetapi, tidak ada tanda-tanda dia akan meninggalkan ke luarga,” katanya. Tetapi, malang tak bisa diadangnya. Telepon berdering membawa kabar duka.
Kejadian itu menjadi peristiwa paling penting sekaligus paling berat dalam hidupnya. “Tiba-tiba saya menjadi kepala keluarga, harus menjaga ibu dan kedua adik saya. Saya belum siap,” ujarnya
Hal tersebut membebaninya. Thesa mulai bekerja malas-malasan dan tidak semangat melakukan apa pun. Padahal, tanggung jawab keluarga ada di pundaknya. “Di tempat ker ja, teman-teman terus meng ingatkan saya untuk bersabar. Tetapi, kata-kata itu tak cukup bagi saya.”
Karena manusia tidak banyak membantunya, Thesa mencoba mencari kedamaian dengan mengingat Tuhan. Dia mulai sering berdoa sesuai agama yang dianutnya sejak terlahir ke dunia. “Sejak kecil saya dididik secara Kristen. Tetapi, saya tidak begitu aktif melakukan ibadah.” Sayangnya, berdoa sebagai seorang Kristen juga tidak membantunya.
Lalu, ada saat di mana dia merasa iri melihat teman- teman Muslimnya. “Saat di kantor, meskipun pekerjaan sangat banyak dan stres, mereka bisa menghadapinya. Setelah shalat, mereka terlihat lebih tenang,” katanya.
Thesa mulai bertanya-tanya, mengapa para Muslim bisa mendapatkan ketenangan semacam itu setelah beribadah.
“Kemudian, tanpa sadar saya merasa lebih tenang ketika mendengarkan azan. Entah mengapa, bila mendengarnya, beban pikiran dan kesedihan saya seperti berkurang.”
Menyadari hal itu, Thesa mulai mencari tahu tentang Islam. “Saya mulai sering browsing di internet untuk mencari bahan bacaan yang ada kaitannya dengan Islam. Saya ingin tahu bagaimana sebenarnya Islam dan mulai membandingkannya dengan ajaran agama di dalam Alkitab,” katanya.
Ia kemudian menemukan banyak ajaran yang sama antara Islam dan Kristen. “Tentang penciptaan manusia, nabi-nabi, bahkan, kisah Yesus dan Injil pun disebutkan dalam Islam. Tetapi, apa yang ditulis di Alquran terasa lebih rasional,” ujarnya.
Thesa kembali bertanya-tanya dan memutuskan untuk membagi pikirannya dengan seorang teman kantornya yang beragama Islam. Tetapi, sang teman menyarankan dia untuk mendapatkan jawaban dari seorang kiai yang lebih ahli tentang Islam. “Teman tersebut mengantarkan saya pada seorang kiai yang dikenalnya.”
Sang Kiai menjelaskan dengan gamblang tentang agama Islam pada Thesa.
Penjelasan tersebut tak lantas membuat Thesa memeluk agama Islam. Dia pulang dan mencoba berdoa kembali di gereja. “Tetapi, saya masih tidak nyaman. Sedangkan, ketika mendengar azan saya merasa tenang,” katanya. Akhirnya, Thesa memutuskan untuk melihat teman-temannya shalat. “Saya jadi ingin mencobanya dan mengikuti gerakan shalat yang dilakukan teman-teman,” katanya.
Enam bulan berlalu sete lah kejadian shalat tersebut, Thesa membuat keputusan penting. Ia merasa harus memeluk Islam. Dia bertanya kepada seorang teman cara masuk Islam. Sang teman menyarankan kepada Thesa untuk berislam di Masjid Sunda Kelapa. Tetapi, ka rena berbagai hal, ia me ngurungkan rencana berislam di masjid itu.
Akhirnya, Thesa memutuskan untuk kembali bertemu dengan kiai yang pernah didatanginya. Ia ceritakan maksudnya kepada sang kiai. “Dia menyuruh saya datang kembali setelah shalat Jumat dua hari berikutnya,” katanya.
Lalu, pada Jumat, sesuai dengan janji, Thesa datang ke masjid milik sang kiai. Seusai shalat Jumat, kiai mengumumkan niat Thesa untuk menjadi Muslim ke pada para jamaah. Sontak terdengar teriakan “Allahuakbar” yang bertalu-talu. Lalu, di depan para jamaah, Thesa membaca dua kalimat syahadat.
Malamnya, Thesa bermimpi. “Di mimpi itu saya sedang shalat. Lalu, saya melihat papa memandang saya dari balik pintu. Mukanya tampak tenang. Tidak terlihat marah sama sekali. Dia bahkan tersenyum,” ujarnya. Thesa menjadi semakin yakin bahwa Islam adalah agama yang paling baik baginya.[]
Sumber: Republika