SUATU hari, Nura membaca sebuah Majalah National Geographic. Dalam edisi itu, majalah asal Amerika itu menurunkan liputan soal haji. Reporternya adalah Thomas Abercrombie. Nur membacanya pada akhir tahun 1980-an ketika ia masih kecil. DI majalah itu, ia melihat foto-foto Kakbah, dan orang-orang yang sedang melakukan thawaf. Entah kenapa, Nur ingin sekali pergi ke Mekkah.
Nura awalnya tidak paham bagaimana seseorang bisa menjadi seorang muslim. Ketika itu ia berusia 12 atau 13 tahun. Menurut Nura ketika itu, menjadi muslim berarti menjadi seorang Hindu. “Saya juga berpikir bahwa kaum perempuan tidak bisa ke Mekah. Saya pikir hanya lelaki saja yang dibenarkan menunaikan ibadah haji karena foto-foto Thomas Abercrombie memperlihatkan hanya lelaki saja,” kenangnya. Nura mengaku, ia tidak paham ketika itu bahwa hal itu dikarenakan antara jamaah laki-laki dan perempuan dipisah di Mekkah, dan bahwa terdapat banyak wanita di sana.
Nura besar dengan memiliki pikiran artistik. Ia sering melukis dan menulis serta hal-hal yang semacamnya. Nura ingat ketika ia mulai menulis bahasa Arab, ia tidak tahu apa yang dilakukannya. “Saya melukis bendera Arab Saudi dan menulis kata-kata di atasnya. Rupanya ketika itu saya menulis Bismillah dan Syahadah,” paparnya.
Kehidupan Nura terus berjalan setelah itu. Tidak ada yang istimewa. Ia menamatkan sekolah tinggi, menikah, dan bekerja. “Saya mulai lupa sama sekali dengan minat saya terhadap Asia Selatan dan Timur Tengah,” ujar Nura. Ia bekerja di Austin Texas. Di tempat ini, begitu banyak sekali orang-orang India dan Pakistan. Di sinilah ia bertemu dengan orang Muslim. “Saya besar di kawasan perkampungan, tidak terdapat banyak Muslim dan orang arab di sana,” kata Nura.
Nura mulai belajar tentang Pakistan. Dan bukanlah sebuah kebetulan, jika Pakistan banyak dikaitkan dengan Islam. “Nama Pakistan secara resmi ialah Republik Islam Pakistan,” itu yang diingat oleh Nura.
Ketika itulah Nura mulai menyadari perbedaan antara teman-teman Hindu dan Muslimnya. “Saya menyadari bahwa terdapat perbedaan walaupun mereka mungkin bukan Muslim yang baik, seperti shalat jamaah (hari Jumat) dan hari raya,” ujar Nura. “Terdapat semacam kedamaian bagi mereka. Terdapat perbedaan yang tidak dimiliki oleh teman-teman Hindu saya. Bukanlah maksud saya bahwa rekan-rekan Hindu tidak gembira atau baik atau sepertinya, tetapi memang terdapat perbedaan yang saya sadari. Itu menyebabkan saya begitu ingin mengetahui tentang Islam. Saya ingin mengetahui apakah perbedaannya.”
Dalam perbincangan dengan rekan-rekannya, Nura mendapati bahwa sebenarnya seseorang bisa saja menjadi Muslim. Nura sangat terkejut karena pada saat yang bersamaan ia memang amat kecewa dengan Kristen. Ia benar-benar terasa kehilangan ruh dan ia mulai melihat dan mencari agama-agama lain. “Saya sudah pernah lagi datang ke gereja,” ujarnya.
Ketika ia menikah, mantan suaminya bukanlah seorang yang agamis. Kedua orang tua suaminya adalah penganut Lutheran, kakek-kakeknya juga penganut Lutheran, dan seterusnya. “Maka dia agak bimbang tentang saya.Karena saya berperilaku aneh tetapi dia sebenarnya suka saya meneruskan pencarian saya,” kata Nura lagi.
Nura kemudian mempelajari Buddhisme dan Shintoisme. Tapi ia bingung dengan konsep semua Dewa dan Dewi serta Ruh dan banyak lagi. Dan satu lagi yang membuat Nura aneh, adalah tak ada bahasa Inggris untuk semua ritual ibadah keduanya. “Saya tahu, sebagian orang akan mengatakan bahwa Islam juga dilakukan dalam bahasa Arab. Ya, kita berdoa, shalat dan membaca Quran dalam bahasa Arab, tetapi kita bisa melakukan semua itu dalam bahasa Inggris dengan mudah,” jelasnya.
Nura merasa tidak cocok dengan Budha. Tapi parahnya, ia juga merasa tidak cocok dengan semua agama. Pada puncaknya, ia merasa benar-benar memerlukan struktur agama dan penjelasan. “Saya telah kehilangan kepercayaan terhadap Kristen apatah lagi saya menyoalkan konsep Trinitas,” paparnya.
Akhirnya, ia kembali mempelajari Islam. Dalam Islam ia mulai menemukan bahwa Tuhan itu satu, tidak punya anak, dan tidak dipersekutukan. Ia mulai melakukan perbincangan dengan banyak Muslim. “Saya berhenti makan dan minum yang diharamkan. Saya malah mulai membeli daging di pasar halal,” kenang Nura.
Nura mulai hidup seperti seorang Muslim, tapi ia sama sekali belum berislam. Alasan Nura, ia ingin mempelajari sebanyak mungkin tentang Islam. Ia menjadi obsesif. Ia rela bergadang untuk belajar dan akan bertanya kepada teman-temannya tentang Islam. “Saya mungkin tidur hanya 3 atau 4 jam setiap hari dan kemudian saya akan kembali belajar Islam,” kata Nura.
Pada satu hari seorang teman berkata kepadanya, “Anda tahu apa yang membuat kita berbeda?”
“Tidak,” jawabnya.
Dia berkata, “Anda belum melafadkan syahadah. Itu dia. Itulah perbedaannya.”
Teman yang lain menimpalinya, “Apa Anda akan mati sebelum sempat mengucapkan syahadah? Anda harus melafadkannya!”
Akhirnya, pada tanggal 31 Augustus 2002, Nura mengucapkan dua kalimah syahadah di Original Dawah Conference Austin Texas: “Tiada Tuhan yang saya sembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah,” ujar Nura. Ia kemudian bercerai dengan suami Kristennya. Nura kemudian pindah ke Chicago supaya bisa memiliki teman Muslim yang lebih banyak. “Alhamdulillah, Allah telah memberikan saya kesempatan untuk meluruskan jalan saya,” pungkas Nura. [islampos/onislam]