“BAH!” teriakan yang berdentum keras penuh amarah terdengar di rumah amang parsinuan (bapak) Azari—seorang pria Batak pertengahan baya yang tengah dirundung sakit berkepanjangan. Entah sakit apa yang sebenarnya mengerami tubuhnya itu.
“Sabar, Bang… Kasihan amang parsinuan kalau Abang terus saja berteriak seperti itu!” seru Litkin menenangkan Abangnya yang sedang emosi.
“Justru Abang begini kerena Abang sayang sama amang parsinuan!” suara Bang Biring semakin meninggi.
“Bang, amang parsinuan itu sedang sakit jadi kita harus sabar merawatnya!”
“Iya lah! Bukan maksud aku tak sabar merawatnya, tapi aku gerah jika begini terus!”
“‘Begini’ bagaimana maksud Abang?”
“Bah! Sudahlah, lupakan!” sahut ketus Abang pada Litkin sambil berlalu.
“Kiiiinnn… Litkiiiinnn…” suara serak Babeh terseok lemah.
“Iya, Ayah? Ada apa?” tanya Litkin lembut pada Babehnya.
“Kemarilah…” suara amang parsinuan Azari yang serak dan kering terdengar memilukan. “Buka laci lemari sudut itu…”
Litkin menemukan segulung kertas. Dibuka dan dibacanya. Kertas itu, surat wasiat. “Apa maksud Babeh menulis surat wasiat ini?”
“Umurku tak akan lama lagi.” ujar amang parsinuan dingin.
Suasana berubah mencekam. Cungcuing berkicau menemani magrib yang turun mendekap.
“AAAARRRRGGGHHH!!!” terdengar lagi sebuah teriakan. Bang Biring.
***
“Halo! Beni, cepatlah kau datang kemari! Si Niko dan si Rino pun sudah datang, kenapa pula kau lama kali?” Bang Biring menelepon Beni—adiknya yang nomor 2, ia berniat mengumpulkan adik-adik lelakinya. Ia memiliki suatu maksud. Telepon ditutupnya dengan geram.
“Bang, sebenarnya ada apa ini? Mengapa kita dikumpulkan dengan tergesa-gesa begini?” tanya Niko pada abangnya.
“Nanti lah dahulu akan aku jelaskan! Tunggu si Beni agar aku tak menjelaskan dua kali!” bentak abangnya itu.
Niko, Rino dan Litkin terdiam. Saling bertukar pandang tak mengerti. Lalu terdengar pintu dibuka. Beni datang.
“Nah! Akhirnya datang juga kau! Cepatlah kemari!” sahut Bang Biring.
“Ya, jadi ada apa ini, Bang?”
Bang Biring bangkit dari duduknya, “Aku ini gerah kali tiap magrib datang juga saat tengah malam, kudengar Burung Cungcuing berkicau-kicau! Kurasa ia bertengger di pohon beringin kebun belakang rumah Babeh ini!” rutuknya memulai pembicaraan.
“Lantas kenapa, Bang? Apalah salahnya burung itu berkicau?” tanya Rino.
“Aku tak suka!” dengus Bang Biring.
“Mengapa?” Litkin ikut bertanya.
Bang Biring terdiam.
“Apa karena mitos yang mengatakan kalau terdengar kicau Burung Cungcuing adalah pertanda kematian? Dan Abang takut itu pertanda amang parsinuan akan meninggal?” cecar Beni.
“Bah! Diam kau!” Bang Biring geram. “Terserahlah apa kata mitos kuno itu! Lagipula aku sudah ikhlas kalau pun babeh harus meninggal sekarang. Tapi aku tak sudi jika kematian itu disangkutkan dengan kicau si Cungcuing sialan itu!”
“Lalu apa yang Abang inginkan?”
“Aku ingin kita membunuh burung itu,” ucap Bang Biring berapi-api. “Nanti selepas magrib kita pergi ke kebun belakang. Maka sekarang siapkan senapan kalian! Kita akan berburu,” lanjutnya.
Tak ada membantah. Perangai abang mereka yang keras sulit untuk ditolak. Mereka pun langsung saja menurut dengan apa yang ia perintahkan. Bergegas mempersiapkan keperluan berburu sore nanti.
Semburat tinta jingga mulai tersapu di kanvas mega. Redup lembayung senja menghembuskan dingin yang merangkul. Sibuk manusia mulai terhenti. Bising pusing mesin-mesin adam mulai sunyi. Terganti oleh nyanyian mistis makhluk alam. Burung Cungcuing.
“Bah! Si keparat Cungcuing itu mulai centil bernyanyi!” rutuk Bang Biring. “Ayolah kita segera memulai perburuan ini!” perintahnya pada ketiga adik lelakinya. Sementara Litkin ia tugaskan untuk menjaga babeh.
Berempat mereka mulai menyisir kebun belakang rumah amang parsinuan. Cahaya lukisan mega tak lagi terlihat. Kicau burung yang menjadi target berburu mereka terdengar semakin jelas. Namun semakin jauh mereka masuk ke dalam kebun, semakin gelap sehingga makin lah sulit untuk bisa mendeteksi apalagi melihat keberadaan burung itu.
SREEEKK… SRRREEKKK… Suara dedaunan kering yang terinjak-injak menambah kengerian yang merangkul saat itu. Tak ada cahaya selain dari lampu kecil yang menggantung di atas senapan mereka.
Hela dan hembus nafas para pemburu terdengar berat berderap-derap penuh waspada. Pasang-pasang mata mereka membidik-bidik ke segala sudut. Tapi hasilnya, nihil.
“Berpencar! Beperpencar! Kita harus berpencar! Bah!” Bang Biring menginstruksikan.
“Kau ke kiri! Kau ke kanan! Kau putari daerah itu! Aku akan masuk lebih dalam!” Bang Biring memberi aba-aba lagi. Semua menuruti perintahnya.
Merayapi kebun itu, menyisir setiap inchi dari luas tanahnya. Dengan kepala terdongak dan dahi berkernyit juga mata yang menyipit. Ditambah telinga yang berusaha mengoptimalkan kemampuannya.
Tanpa mereka sadari, langkah kaki mereka itu mengantarkan mereka pada arah yang sama. Satu titik yang di situ berada sebuah pohon besar yang pastinya berusia sangat tua. Diameter pohon itu kira-kira setara dengan lingkar tangan 5 orang dewasa. Tingginya sekitar dua kali tinggi pohon kelapa. Akarnya pun kuat sekali sampai menyembul ke permukaan tanah. Dilengkapi akar gantung yang menjuntai-juntai begitu lebat.
Dari pohon itu suara Burung Cungcuing yang mereka cari, terdengar sangat nyaring dan dekat. Tapi wujud burungnya tak terlihat sedikit pun.
“Bang, nampaknya burung yang kita cari-cari bertengger di pohon ini!” Niko pertama angkat bicara soal dugaannya.
“Iya, Bang! Aku pun berpikir begitu!” Rino mengiyakan.
“Hmm… Aku pun bepikir begitu.” Bang Biring membenarkan praduga adik-adiknya.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo tarik pelatuk senapan kita!” seru Beni.
“Tunggu! Kita jangan terburu-buru. Siapkan posisi siaga dulu!” atur Bang Biring.
Mereka mengambil tempat dengan jarak yang cukup terpisah. Berposisi mengelilingi pohon besar itu.
“Dengarkan aba-abaku, dihitungan ketiga kita tembak bersama-sama ke atas pohon ini,” bisik Bang Biring.
Ketiga adiknya mengangguk tanda mengerti. Senapan di tangan mereka sudah di dongakkan ke atas pohon sama mendongaknya dengan kepala mereka.
“Satu…”
Semua pasang mata memicing.
“Dua…”
Pelatuk mulai ditarik.
“Tiga…”
DORRRR!!! Serempak pecah teriakan dari keempat senapan yang telah memuntahkan pelurunya, dan…
BRUG! Sesuatu terjatuh. Terkulai di atas tanah. Semua pasang mata terpana dengan apa yang dilihatnya. Dengan mulut menganga dan dada membuncah tak karuan, semua menyeret kaki untuk melangkah. Mendekat dan mendekap sosok itu.
Bang Biring. Ia tewas tertembak. Entah oleh peluru dari senapan siapa. Tepat di dada kanannya, darah mengalir. Mata terbelalak. Dengan sisa nafas yang terseok.
***
Nyanyian senja berkumandang nyaring. Membangunkan kuduk-kuduk yang tertidur. Gelap yang turun semakin lekat, menyemangati senja terus bernyanyi. Dendang syair-syair sederhana. Namun mencipta lagu sarat makna. Seolah hembuskan sebuah pertanda. Tersirat sebuah pesan ada. Kita semua harus waspada.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud . Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429). []