Oleh: Asa Mulchias
Penulis
PAS jomblo, aktif dakwah. Pas nikah, raib musnah. Ini drama di mana-mana.
Anehnya, polanya selalu sama. Pas ta’aruf terutama. Bahwa mereka selalu bilang: rumah tangga nanti untuk dakwah juga. Karenanya, tidak ada ceritanya dakwah kendor setelah nikah.
Itu komitmen bersama. Ikhwan dan akhawat. Suami dan istri.
Tapi, lidah memang tak bertulang. Sebelum nikah, bilang ini-itu super gampang. Karena belum mengalami mahligai pernikahan.
Setelah nikah, barulah ketemu temboknya. Batu sandungannya. Seribu satu alasan kenapa dakwah kayaknya sah-sah saja kendor.
Masa awal nikah, dunia serasa milik berdua. Miliaran yang lain ngontrak. Di sini, jiwa menemukan kenyamanan baru. Hidup terasa lebih enak. Lebih segar. Sangat beda dibandingkan masa-masa sendiri.
Lalu, katakanlah istri hamil. Mulai sibuk memenuhi segala kebutuhan dan persiapan lahiran. Pergi ke dokter. Beli makanan. Bantu-bantu ngurus rumah. Siap-siap jadi tukang pijit karena doi bakal sering pegel-pegel. Atau jadi perawat yang rutin nganterin vitamin buat diminum tiap hari.
Lahiran bayi, makin sibuk lagi. Ngurus KK, administrasi, beli popok, baju, celana. Beli popok kain. Ke dokter kalau debay sakit.
Semuanya diurus sambil cari nafkah. Pergi pagi, pulang petang.
Coba, mau ngurus dakwahnya di mana?
Masuk akal kan, kenapa banyak yang The End album dakwahnya.
Bukan cuma ikhwannya, akhawatnya juga. Malah ini yang paling sering musnah dari lapangan. Alasannya ya ngurus bayi kecil. Bayi gede. Cucian nggak ada habisnya. Jemur tiada hentinya. Nyapu, ngepel, sampai rumahnya tipis.
Ke mana itu omongan sebelum nikah? Nguap. Nggak tahu ke mana.
Lalu gimana dong?
Ini pergulatan hidup masing-masing. Tapi garisbawahi: semua ucapan akan menemui masa-masa pembuktiannya.
Kalau dulu pernah komitmen tetap ngurus dakwah, ya buktikan.
Jangan ngomong doang.
Tahu kok, rumah tangga itu sibuk. Tahu banget. Tapi kalau sudah komitmen, ya lakukan. Dengan segala cara. Bikin prioritas. Bikin standar minimal. Masak iya nggak kepegang tuh, urusan dakwah sekali seminggu?
Yang akhawat, suaminya jangan dibekep aja dalam rumah. Suruh ke luar. Dunia dakwah butuh tenaga dan pikirannya. Buat apa laki-laki itu ditarbiyah bertahun-tahun, tapi ending-nya malah cuma di rumah dan jalan-jalan pas weekend?
Yang ikhwan, itu istrinya di-upgrade. Suruh ikut kajian keilmuan. Suruh megang ngaji, walau di rumah. Suruh ikut acara sosial atau bantu-bantu kegiatan dakwah. Dia itu madrasatul uula. Sekolah pertama anak-anak kita. Bakal buteg pikirannya kalau cuma ketemu urusan bersih-bersih setiap hari.
Masuk hamil kedua, istri saya malah dapat tawaran ngajar. Sabtu buat anak-anak. Minggu untuk muslimah muda.
“Diambil nggak, A?” tanya istri.
“Ambil.” Jawab saya. Tanpa pikir panjang.
Tiap pekan, ada waktu di mana istri juga merelakan saya pergi. Ngurus sesuatu.
Ini bagian dari melatih jiwa kami.
Agar tetap komitmen dengan janji sebelum nikah.
Bahwa rumah tangga kami buat dakwah.
Bukan buat diri sendiri saja. []