DALAM kamus bahasa Arab, kata “istimna” atau “Jildu” dan “Umairah” berarti mengeluarkan sperma dengan tangannya, kemudian Istimna, apabila sering dilakukan akan menjadikannya sebagai adat dan kebiasaan bagi yang melakukannya, sehingga lahirlah makna baru yaitu “Al-’Adah As-Sirriyah” yang artinya adat atau kebiasaan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Onani, masturbasi, coli, main sabun, dan lain-lain, merupakan satu istilah untuk menyatakan kegiatan yang dilakukan seseorang yang (umumnya) masih muda dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tangan maupun dengan menambahkan alat bantu berupa sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya dia bisa mengeluarkan mani dan membuat dirinya (lebih) tenang.
Istilah Onani sendiri, berasal dari kata Onan, salah seorang anak dari Judas, cucu dari Jacob. Dalam salah satu cerita di Injil, diceritakan bahwa Onan disuruh oleh ayahnya (Judas) untuk bersetubuh dengan istri kakaknya, namun Onan tidak bisa melakukannya sehingga saat mencapai puncaknya, dia membuang spermanya (mani) di luar (di kemudian hari tindakan ini dikenal dengan istilah azl (dalam bahasa Arab) atau coitus interruptus (dalam istilah kedokterannya).
BACA JUGA: Hukum Onani dan Solusinya
Dari cerita Onan ini terdapat dua versi. Ada yang berpendapat bahwa Onan berhubungan badan dengan istri kakaknya lalu membuang maninya di luar. Dan ada juga yang menyebutkan bahwa Onan tidak menyetubuhi istri kakaknya, malainkan ia melakukan pemuasan diri sendiri (coli) karena ketidak beraniannya untuk menyetubuhi sedangkan birahi di dada semakin memuncak, sehingga dari perbuatan Onan ini lahirlah istilah Onani sebagai penisbahan terhadap perbuatannya.
Pandangan Islam tentang Onani
Bila kita membaca buku-buku fiqh dan fatawa para ulama, akan dijumpai bahwa mayoritas ulama seperti Syafi’i, Maliki, Ibnu Taimiyah, Bin Baz, Yusuf Qardhawi dan lainnya mengharamkannya, dengan menggunakan dalil firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang artinya:”Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka kecuali terhadap isterinya tau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa berkehendak selain dari yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas”[Al-Mu’minun : 5-7].
Ayat ini menerangkan bahwa seseorang yang menjaga kehormatan diri hanya akan melakukan hubungan seksual bersama isteri-isterinya atau hamba-hambanya yang sudah dinikahi. Hubungan seksual seperti ini adalah suatu perbuatan yang baik, tidak tercela di sisi agama.
Akan tetapi jikalau seseorang itu mencoba mencari kepuasan seksual dengan cara-cara selain bersama pasangannya yang sah, seperti zina, pelacuran, onani atau persetubuhan dengan binatang, maka itu dipandang sebagai sesuatu yang melampaui batas dan salah lagi berdosa besar, karena melakukannya bukan pada tempatnya. Demikian ringkas penerangan Imam as-Shafie dan Imam Malik apabila mereka ditanya mengenai hukum onani.
Selain ayat di atas, para ulama juga menggunakan dalil dari hadis Nabi SAW, yang artinya: “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”.
BACA JUGA: Kecanduan Onani, Bagaimana Melepaskannya?
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu : Pertama, Segera menikah bagi yang mampu. Kedua, Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Shah Waliullah Dahlawi menerangkan: Ketika air mani keluar atau muncrat dengan banyak, ia juga akan mempengaruhi fikiran manusia. Oleh sebab itu, seorang pemuda akan mulai menaruh perhatian terhadap wanita cantik dan hati mereka mulai terpaut kepadanya. Faktor ini juga menyebabkan desakan pada jiwa dan keinginan untuk melampiaskan syahwatnya menjadi kenyataan dengan berbagai bentuk.
Dalam hal ini seorang bujang akan terdorong untuk melakukan zina. Dengan perbuatan tersebut moralnya mulai rusak dan akhirnya dia akan tercebur kepada perbuatan-perbuatan yang lebih merusak.
BERSAMBUNG