“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas,” (Al-Muminun 5-7).
ENTAH karena ketidaktahuan, atau memang sudah menggejala, lihatlah, di banyak rubrik konsultasi di media-media umum, banyak sekali pertanyaan soal onani di bulan puasa. Para pemuda yang bertanya itu menanyakan apakah onani membatalkan puasa atau tidak.
Di antara sifat orang beriman, mereka yang menjaga kemaluan. Mereka tidak mennyalurkan syahwatnya kecuali kepada istri dan budak. Allah nyatakan, perbuatan semacam ini tidak tercela. Kemudian Allah tegaskan, bahwa orang yang menyalurkan syahwatnya selain kepada istri dan budak maka dia melampaui batas. Melampaui batas dengan melanggar apa yang Allah larang. Onani termasuk bentuk menyalurkan syahwat kepada selain istri. (Simak Tafsir As-Sa’di, hlm. 547).
Sedangkan soal onani apakah membatalkan puasa ataukah tidak, jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali, serta lainnya menegaskan bahwa mengeluarkan mani secara sengaja tanpa hubungan badan, membatalkan puasa.
Dalil masalah ini adalah hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan-minumnya karena-Ku,” (HR. Bukhari 7492, Muslim 1151 dan yang lainnya).
Allah menyebutkan secara beruntun sifat orang yang puasa adalah meninggalkan makan, minum, dan syahwat biologis. Sehingga siapa yang meninggalkan salah satunya, tidak lagi disebut berpuasa, alias puasanya batal.
Dr. Khalid Al-Muslih pernah menjelaskan hadis qudsi dari Abu Hurairah di atas. Beliau mengatakan, “Orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu, berarti tidak meninggalkan syahwatnya. Pendapat sebagian ulama bahwa hadis ini hanya berlaku untuk jimak adalah pendapat yang jelas tidak kuat, bagi orang yang merenungkannya.
Imam Ar-Rafii – salah satu ulama besar syafiiyah mengatakan, “Mani yang dikelrarkan dengan onani, membatalkan puasa. Karena jika hubungan intim tanpa terjadi keluar mani statusnya membatalkan puasa, maka onani dengan mencapai syahwat puncak lebih layak untuk membatalkan puasa,” (Syarh Al-Wajiz Ar-Rafii, 6/396).
Imam Ibnu Baz mengatakan pendapat yang sama. “Orang yang melakukan onani ketika Ramadhan, dia wajib mengqadha puasanya. Dia harus bertaubat kepada Allah dan mengqadha puasanya. Karena pada hari itu dia membatalkan puasa dengan melakukan onani. Artinya, status dia sama dengan orang yang tidak puasa, meskipun dia tidak makan, tidak minum. Namun statusnya sama dengan orang yang tidak puasa, dan dia wajib qadha,” demikian Ibnu Baz. []
Sumber: konsultasi syariah