Oleh: Islahuddin Panggabean, S.Pd.
Pengurus Wilayah Mathla’ul Anwar Sumatera Utara,
ZIS Consultant Yatim Mandiri Medan
islahforpresident@gmail.com
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”.Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS Asy-Syu’ara : 61-62)
RENTETAN ayat di atas memuat salah satu kisah dari episode kehidupan dakwah Nabi Musa tepatnya saat Nabi Musa dan Bani Israil terjebak di pinggir laut. Dalam Qisasul Anbiya diceritakan Firaun dan bala tentaranya berhasil mengejar Nabi Musa dan para pengikutnya.
Mereka tiba pada saat matahari terbit, dan kedua pihak pun dapat melihat satu sama lain meskipun dari kejauhan.
BACA JUGA: Berobat Bisa Mengurangi Tawakal, Benarkah?
Tidak ada keraguan pada masing-masing pihak, bahwa pasukan di seberang sana adalah pihak musuh, karena mereka dapat melihat secara langsung dan membuktikannya. Saat itu hanya tinggal menunggu aba-aba untuk menyerang, bertempur ataupun bertahan.
Para pengikut Musa pun berkata Musa dengan nada ketakutan, “Kita benar-benar akan tersusul.” Mereka terpojok di pinggir lautan, dan tidak dapat melanjutkan perjalanan karena tidak ada jalan lain dan tidak ada cara lain kecuali berhadapan dengan musuh atau menceburkan diri ke dalam lautan. Inilah situasi yang tidak diharapkan semua orang.
Di belakang ada musuh, di depan ada lautan, di sisi kiri dan kanan ada gunung terjal yang sulit untuk didaki. Firaun seolah telah mengunci mereka dengan pasukannya, sementara para pengikut Musa dalam keadaan ketakutan dan panik karena mereka tahu bagaimana Firaun memperlakukan mereka selama ini, apalagi jika mereka dalam situasi seperti itu (melarikan diri dari Firaun).
Mendengar keluhan mereka, Musa menjawab, Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, dia akan memberikanku petunjuk.” Ketika itu Musa yang selama perjalanan berada di belakang maju ke bagian paling depan.
Lalu ia memandang lautan yang sedang meninggi ombaknya hinga buih-buih di tepian pantai terlihat sangat berlimpah. Kemudian turunlah wahyu untuk memukul laut tersebut dengan tongkat Nabi Musa hingga terbelah lah lautan sebagaimana kisah yang sudah sangat mahsyur.
Ada hal yang menarik jika kita simak kisah tersebut, sebagaimana ditadabburi oleh Dr Muhammad bin Abdullah al-Qathani tatkala mentadabburi ayat ke 52 surah Asy-Syu’ara tentang pengikut Nabi Musa yakni ”Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil). Allah menyebut mereka dengan sebutan yang mulia (hamba-hamba-Ku).”
BACA JUGA: Membangun Sikap Optimis karena Allah
Lalu ketika rasa tawakkal mereka melemah dan tidak merasakan perlindungan Allah kepada mereka, Allah mencabut predikat yang mulia itu. Allah ’Azaa wa Jalla berfirman pada ayat 61, ””Berkatalah pengikut-pengikut Musa, Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.””
Demikianlah bahwa kemesraan dan kedekatan manusia dengan Allah tercermin pada sikap tawakkal pada-Nya dan itu membuat mereka mulia, disebut dengan hamba-Nya. Tawakal pada Allah, tentunya setelah berazzam dan bertekad akan menghilangkan kesombongan juga kekhawatiran dan kekecewaan.
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.”
Janji Allah bagi yang bertawakkal ialah keniscayaan akan dicukupi segala urusan. Seperti tercantum di QS Ath Tholaq: 2-3 dan juga hadist Nabi. ”Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Namun, ketika rasa tawakkal tiada dalam diri manusia, kemuliaan sebagai hamba seolah tidak lagi dimiliki. Seperti pengikut Musa yang hilang rasa tawakkal pada Allah, sehingga mereka yang awalnya disebut hamba-hamba disebut hanya pengikut Musa.
Dalam ayat ke 62, terdapat kalimat dari Nabi Musa, yang menggambarkan orang yang percaya akan datangnya pertolongan Tuhannya. Musa berkata, ”Sesungguhnya Tuhanku bersamaku”. Dia tidak menyertakan kaumnya bersamanya. Kaumnya malah sangat lemah tawakkalnya. Ini berbeda dengan episode tatkala Nabi bersama Abu Bakar di dalam gua, Nabi mengatakan ””Sesungguhnya Allah bersama kita”.”Itu sebab perbedaan antara Abu Bakar yang mulia dan penuh keimanan dan tawakkal kepada Allah dengan Bani Israil yang melemah tawakkalnya.
BACA JUGA: Hubungan Sabar dan Tawakkal dengan Zaman
Oleh karena itu, Prof Nashir al-Umar mengambil pelajaran dari ayat ke 62. Beliau mengatakan Alangkah butuhnya kita pada iman manusia seperti ini. Yakni Iman yang bisa memunculkan kepercayaan penuh pada Allah dan optimis di masa depan. Ayat ini merupakan teguran keras bagi orang yang membuat kepercayaannya pada kondisi sekitar dan upaya-upaya lahiriah lebih kuat dibanding prasangka baiknya kepada Allah.
Penutup
Keadaan tidak akan mengalahkan kekuasaan Allah. momentum itulah ujian tawakkal dan baik sangka kita pada Allah. yakinlah Allah akan menolong hamba-Nya yang bertawakkal pada-Nya. Semoga Allah menanamkan rasa tawakkal dalam diri kita dan baik sangka pada-Nya. Wallahua’lam. []