SAAT menjelaskan suatu hukum, terkadang para ulama sengaja tidak menyebutkan dalil, karena berbagai pertimbangan, seperti khawatir tidak akan dipahami, atau akan memberatkan, atau untuk meringkas pembahasan, dan lain sebagainya. Jadi bukan karena tidak ada dalilnya. Ini sebagai bentuk husnu dzan (baik sangka) kita kepada para ulama. Karena mereka adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah. Sangat kecil kemungkinan mereka berbicara agama tanpa memiliki landasan dalil.
Allah berfirman : “Hanyalah para ulama orang yang paling takut kepada Allah dari para hamba-Nya.” (Al-Qur’an Al-Karim).
Di suatu kesempatan, kami pernah menjelaskan tentang hukum suatu masalah. Saat itu kami sengaja tidak menyebutkan dan menjelaskan dalilnya. Bukan tidak ada dalilnya, tapi kami khawatir tidak akan dipahami atau memberatkan audiens. Tapi tiba-tiba ada yang bertanya: “Maaf, apa dalilnya dalam masalah itu, ustadz ?” Karena ditanya, akhirnya terpaksa saya jelaskan. Saya sebutkan bahwa dalil dalam masalah tersebut ada dua, yaitu ijma’ (konsensus) ulama dan qiyas (analogi). Saya jelaskan mulai dari pengertian keduanya sampai thariqatul istidlal (metode pendalilan) sehingga melahirkan sebuah hukum. Setelah saya jelaskan, penanya berkata:
“Maaf, ustadz. Saya pusing, tidak paham!”
BACA JUGA: Madzhab Hanafi Paling Kering dari Dalil?
Saya hanya bisa tersenyum, sembari berkata dalam hati : “Ya, itu resiko tanya dalil !”.
Dari kisah di atas, saya tersadar akan faidah dari pernyataan imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berikut :
وَيَنْبَغِي لِلْعَامِّيِّ أَنْ لَا يُطَالِبَ الْمُفْتِيَ بِالدَّلِيلِ وَلَا يَقُلْ لِمَ قُلْتَ.فان أحب أن تسكن نفسه بسماع الْحُجَّةِ طَلَبَهَا فِي مَجْلِسٍ آخَرَ أَوْ فِي ذَلِكَ الْمَجْلِسِ بَعْدَ قَبُولِ الْفَتْوَى مُجَرَّدَةً: وَقَالَ السَّمْعَانِيُّ لَا يُمْنَعُ مِنْ طَلَبِ الدَّلِيلِ وَأَنَّهُ يلزمه الْمُفْتِي أَنْ يَذْكُرَ لَهُ الدَّلِيلَ إنْ كَانَ مَقْطُوعًا بِهِ وَلَا يَلْزَمُهُ إنْ لَمْ يَكُنْ مقطوعا به لا فتقاره إلَى اجْتِهَادٍ يَقْصُرُ فَهْمُ الْعَامِّيِّ عَنْهُ وَالصَّوَابُ الاول
“Bagi orang awam, seyogyanya tidak menuntut mufti (juru fatwa) untuk menyebutkan dalil, dan tidak boleh untuk menyatakan: “Kenapa anda berpendapat demikian ?” Jika dia ingin jiwanya bisa tenang dengan mendengar argument, hendaknya dia tuntut di majelis yang lain, atau di majelis itu setelah dia menerima fatwa tersebut apa adanya. As-Sam’ani berkata : Tidak ada halangan untuk menuntut dalil. Dan wajib bagi seorang mufti untuk menyebutkan dalil baginya. Jika dalilnya maqthu’ (pasti), wajib bagi mufti untuk menyebutkan dalil baginya. Dan jika bukan maqthu’(pasti), maka tidak harus baginya karena hal itu membutuhkan kepada ijtihad yang hal itu tidak akan dipahami oleh orang awam. Dan yang benar, pendapat pertama (tidak seyogyanya untuk menuntut dalil).” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 1/57-58].
BACA JUGA: Jangan Memahami Dalil Sendiri
Oleh karena itu, hampir setiap madzhab memiliki kitab-kitab ringkas untuk pemula yang berisi berbagai rumusan masail tanpa menyebutkan dalil. Baik Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Karena memang target orang awam belajar agama itu hanya untuk diamalkan, bukan untuk mengajarkannya kepada orang lain. Karena tingkatan “mengajar” itu bukan tingkatan sembarangan. Sebuah tingkatan yang memerlukan berbagai piranti ilmu alat yang tidak sedikit. Demikian, semoga bermanfaat. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani