ANAK pertama saya, kelas 1 SMA, tidak masuk pesantren. Kami sekolahkan di Al-Manaar, sekolah jamaah Persis. Banyak yang tanya, kenapa ga masuk SMAN 1? Kenapa ga lanjut pesantren?
Begini ya, sebagaimana Anda yang lebih tahu dengan anak-anak Anda, saya dan istri tentu lebih tahu dengan anak-anak kami. Tiga orang anak kami punya potensi yang berbeda-beda. Anak kedua, stay di pesantren Madrasah Al-Fatih, sekarang sudah 15 juz, alhamdulillah. Anak ketiga, di Kuttab, 3 Juz. Sementara saya, juz 30, tidak tamat-tamat hehehe…. Ga apa-apalah sesekali saya declare soal keluarga saya, biar tahu itu sebagian orang yang nyinyirin kemana-mana itu.
Anak pertama kami ini, sewaktu di pesantren tingkat SMP, potensi-nya sudah terbentuk. Dia mirip saya banget. Bisa nulis. Jadi perwakilan sekolahnya untuk berbagai writing dan speaking contest. Juara, alhamdulillah.
Tapi, pertimbangan kami menyekolahkan dia di rumah, tentu jadi sangat pribadi. Sepekan dua kali, bada Isya, saya duduk berdua dengannya transfer ilmu bahasa Inggris. Dia sangat suka bahasa Inggris. Saya bilang ke dia, “Teh, kamu tau ga, ayah kamu ini jago banget kalau bahasa Inggris. Kamu cuma perlu duduk bareng sama ayah selama at least, 5-6 bulan, insyaAllah, kamu gape bahasa Inggris ini.”
Di luar itu, ada dua kali sesi dalam sepekan sepanjang 1,5 jam, kami juga bikin majelis ilmu kajian jurnalistik. Saya dan dia saja berdua, membedah semua hal tentang jurnalistik, dan di akhir sesi, dia saya tugasin nulis satu tulisan.
Saya bapaknya. Saya bisa berbahasa Inggris. Saya juga bisa sedikit menulis. Saya paling berhak dong untuk ngajarin anak saya perempuan ini dalam dua hal itu. Oh iya, setiap Ahad pagi setelah shubuh, kami sekeluarga melingkar, saya mengisi kajian, pesertanya 2 anak perempuan saya, dan istri saya. Jam 06.00 pagi, gantian saya cau ikut kajian di majelis guru saya untuk re-charge.
Di luar itu, jarak dan kuasa kapital bernama duid, yang mungkin sangat tersembunyi buat orang-orang di luar kita, adalah salah dua kemungkinan yang muncul orang tidak bisa kemana-mana.
Hati-hatilah pada teman dekat yang terus berbisik-bisik laksana syetan, memberi informasi ngawur soal hidup orang lain. Saya dan istri, seumur-umur ga mau pernah dan masuk dalam ranah pribadi orang lain, kehidupan rumah tangganya, bagaimana mendidik anak-anak mereka sendiri. Saya, tidak lebih tau soal anak-anaknya dibandingkan mereka sebagai orangtuanya. Saya, tidak lebih tau, persoalan apa yang dihadapi oleh satu keluarga yang lain.
Saya malu juga sih nulisin ini. Saat orang lain nulis soal Ketua DPR, soal demo, soal Wamena, soal kabut asap, saya malah bahas soal orang hasad. My God! Orang mah udah dapat duid 200 jutaan dari YouTube, elo masih sibuk urus urusan orang lain yang ga ada manfaatnya sama sekali buat elo dan hanya akan menyusahkan dirimu sendiri, dunia dan akhirat? []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word