Sebuah renungan karya Arief Siddiq Razaan
“MOHON maaflah pada ibumu, jangan terlalu keras hati,” ujarku pada sahabat karibku sembari memegang bahunya.
“Nanti-nanti juga bisa, ibuku tak akan ke mana-mana. Lagipula, Ibuku yang salah, melarangku pacaran. Memang apa salahnya punya pacar? Bukankah ini juga untuk memudahkan pencarian menantu untuk Ibuku, tetapi dasar orang tua kolot, pakai melarang segala.” Sahutnya dengan nada meninggi, aku hanya mampu mengurut dada.
“Astagfirullah… Ibumu tidak salah, dalam Islam memang tidak diperbolehkan pacaran. Pacaran mendekatkan diri pada zina, sebab ada kepentingan syahwat di dalam prosesnya. Dalam hadist riwayat Al-Bukhari dan Imam Muslim dinyatakan Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dilakukan. Zinanya mata adalah melihat (dengan syahwat), zinanya lidah adalah mengucapkan (dengan syahwat), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (pemenuhan nafsu syahwat), maka fajr (kemaluan) yang membenarkan atau mendustakannya.”
“Aku kan cuma mau mengikat orang yang kucintai agar tidak berpaling ke lain hati karena aku tak menyatakan perasaanku padanya, apa itu salah?”
“Mencintai bukan sebuah kesalahan, berharap orang kita cinta mengetahui perasaan yang ada dalam hati kita juga bukan sebuah kesalahan. Hanya saja itu saja belum cukup disebut cinta, apabila kenyataannya dirimu tidak menikahinya.”
“Menikah itu butuh biaya, sedangkan diriku belum punya modal. Aku takut kalau tidak menjadikannya pacar, dia pergi begitu saja. Setidaknya kalau kujadikan pacar, aku bertanggungjawab untuk membahagiakannya melalui perhatian-perhatian tulus yang kuberikan saat berdua dengannya sebagai sepasang kekasih.”
“Perhatian yang bagaimana? Membelainya, menyediakan bahumu ketika dia bersedih, atau mengantar jemput dia saat berkegiatan? Apakah itu yang dirimu maksudkan?”
“Jelaslah! Wanita itu butuh dilimpahi belaian untuk memenangkan hatinya, butuh diberikan bahu saat menangis, dan butuh kesiapan kita untuk menemaninya berkegiatan. Ini perhatian wajar, bahkan perlu untuk membuktikan kita calon suami terbaik baginya.”
“Innalillahi… Tidakkah dirimu ketahui dalam Hadist Riwayat Al-Bukhari dan Imam Muslim dinyatakan dengan tegas ‘Janganlah seorang laki-laki berdua-duan dengan wanita kecuali bersama mahramnya.’ Salah satu pemikir Islam Thabrani dalam karyanya Mu’jam Kabir 20/174/386 meriwayatkan Hadist Hasan bahwa seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”
“Jadi apa aku harus membiarkan orang yang kusukai direbut orang lain? Itu namanya bukan petarung sejati. Kalah sebelum berjuang itu tindakan bodoh. Aku ingin berjuang dengan cara menjadikannya kekasih, maka jangan halangi langkahku. Biarlah kupilih caraku sendiri, bahkan orang tuaku saja kulawan.”
“Petarung sejati dalam hal cinta itu bukan cuma mahir berucap cinta, tetapi yang berani berjuang menikahinya meski rezeki dirasa belum mencukupi. Dalam Quran Surah Huud [11]: 6, Allah berfirman, ‘Tiada suatu binatang melata pun yang tidak mendapat jaminan rezeki dari-Nya’. Lihatlah dirimu, ke dua tanganmu ada, kakimu bisa berjalan. Pikiranmu masih berakal, telingamu bisa mendengar. Matamu bisa melihat. Itu karunia terbaik untuk mencari rezeki yang halal. Rezeki bagi manusia itu tak akan pernah ada cukupnya, tinggal bagaimana bersyukur atas apa yang sudah diperleh dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Niatkan menikah karena Allah, semoga dicukupkan rezeki untukmu.”
Medengar ujarku, sahabatku justru menatap dengan sinis. Dia tetap pada pendiriannya untuk berpacaran, dan tak mau minta maaf pada orang tuanya yang sudah melarangnya untuk pacaran. Sungguh kesedihan memenuhi dadaku, dalam hati aku berdoa semoga Allah memberi petunjuk baginya.
Hingga akhinya, kulihat dia benar-benar telah berpacaran. Ke manapun berdua dengan pacarnya, tak jarang memamerkan kemesraan di tempat umum. Suatu ketika, aku berkunjung ke rumah sahabatku sempat berbincang dengan ibu kandungnya.
“Oalah, dosa apa yang sudah Ibu perbuat sampai memiliki anak yang begitu. Sungguh, Ibu malu kepada Allah. Padahal, Ibu sudah melarangnya pacaran dan menyuruhkan menikah saja. Namun, dia tak mau alasannya gajinya belum cukup. Jujur, meskipun setelah menikah isrinya tinggal di rumah Ibu pasti diizinkan, hanya saja harga dirinya terlalu ditinggikan. Kini Ibu hanya bisa pasrah, kemarin Ibu kembali menegaskan jangan pacaran tetapi Ibu malah dikatakan tidak gaul, tidak mengikuti perkembangan zaman. Ibu hanya menangis, bagaimanapun dia darah daging Ibu.”
“Sabar, Bu. Semoga Allah memberi hidayah baginya, nanti biar kucoba menasehatinya lagi.”
Selang beberapa hari kucoba menasehatinya, namun sia-sia saja. Bahkan dengan sangat lancang sahabatku berujar, “Jika Allah melarang pacaran, mengapa makin banyak yang pacaran dan tidak diberikan azab. Sudahlah, biarkan aku memilih cara sendiri untuk menentukan jodohku. Aku juga tak mau minta maaf pada ibuku setidaknya hingga satu bulan ke depan, barangkali ibuku akan berubah pikiran. Masih banyak waktu untuk meminta maaf, yang penting kunikmati dahulu kebahagiaan masa berpacaran.”
Dua hari kemudian, kudengar pengumuman dari masjid. Karibku meninggal dunia dalam kecelakaan bersama kekasihnya. Saat itu juga teringat ucapannya “…aku juga tak mau minta maaf pada ibuku hingga satu bulan ke depan. Masih banyak waktu untuk meminta maaf, yang penting kunikmati dahulu kebahagiaan masa berpacaran.”
Kini waktu itu sudah habis, lalu aku bercermin. Mengingat kesalahan yang pernah kuperbuat pada orang lain-terutama orang tuaku, seketika kutemui Ibuku dan kucium tangan beliau.
“Ibu…. maafkan dosa-dosa ananda. Setiap hari, izinkan ananda memohon maaf kepada Ibu, selagi masih ada waktu. Sebab, ananda tahu ampunanmu ialah anugerah terbaik untuk menemu anugerah dari Allah untuk hari ini dan hari-hari esok.” []